Mubadalah.id – Sebelum menjadi Rasulullah, Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai pebisnis. Sejak muda, Nabi Saw ikut serta dengan ekspedisi perdagangan sang paman, Abu Thalib ke Syria. Mekkah pada saat itu menjadi kota perdagangan internasional.
Dalam berbagai musim, termasuk musim haji, Mekkah selalu dikunjungi berbagai pedagang dari berbagai suku, bangsa, dan agama. Bahkan Khadijah r.a mempercayai Nabi Saw untuk berbisnis ke Syria, yang tentu bertemu dan berelasi dengan berbagai suku, bangsa, dan agama.
Pada saat Nabi Saw menerima wahyu dan menjadi Rasulullah di usia 40, relasi bisnis dengan yang berbeda agama, termasuk orang-orang kafir Quraisy masih tetap berjalan.
Nabi Saw dan seluruh umat Islam saat itu, tetap belanja, menjual dan membeli dengan orang-orang non-muslim, baik di pasar atau di tempat-tempat lain.
Namun sayangnya, Nabi Saw dan umat Islam justru mengalami pemboikotan oleh orang-orang kafir Quraisy selama tiga tahun. Semua orang baik yang tinggal di Mekkah, atau datang sebagai caravan dari luar tidak boleh untuk berelasi bisnis. Termasuk menjual dan atau membeli, dari umat Islam.
Nabi Saw menentang pemboikatan ini, dan berdiplomasi dengan berbagai tetua Arab untuk membatalkan pemboikotan ini. Setelah tiga tahun yang cukup mengenaskan bagi umat Islam saat itu, pemboikotan kemudian mereka batalkan.
Relasi mu’amalah, bisnis, dagang, dan jual beli kembali normal antara umat Islam awal dan orang-orang non-muslim pada saat itu.
Nabi Muhammad Saw, sampai menjelang hijrah ke Madinah, masih orang-orang kafir Quraisy percaya untuk menyimpan (wadi’ah) barang-barang mereka di rumah. []