Mubadalah.id -Artikel ini akan membahas tentang sosok Taylor Swift. Mengenal Taylor Swift, seorang penyanyi dan artis Hollywood. Dalam beberapa hari lalu, Taylor Swift, kembali mengegerkan dunia maya, berkat prestasinya dalam meraih gelar Doctor of Fine Arts dari New York University pada tanggal 18 Mei 2022. Para fans di berbagai belahan dunia, tak habis-habisnya memberikan ucapan “selamat”, bahkan seluruh media dunia melansir pemberitaannya. Kita seakan mengenal Taylor Swift dari sisi yang lain.
Bagaimana tidak?
Mengenal Taylor Swift, musisi perempuan yang lahir, pada tanggal 13 Desember 1989 di West Reading, Pennysylvania, Amerika Serikat. Tidak hanya memiliki suara yang merdu. Namun, juga segudang prestasi di antaranya Nashville Songwriter Association Songwriter/Artist of the Year (2007), Best Country Song dan Best Famale Country Vocal di Grammy Awards (2008), Guinness World Records (2010), American Music Awards (2019) dan lain sebagainya.
Perempuan asal Amerika ini, juga memiliki keahlian dalam menulis atau menaratifkan lagu seputar fenomena sosial. Walupun, “begitu” ia sering kali menerima kritikan hingga pujian dari lagu yang ia ciptakan.
Misalnya, seperti “The Man”, yang memiliki makna yang luar biasa. Tema yang diangkat dalam lagu tersebut, merupakan fenomena tentang ketidakadilan yang seringkali dialami oleh perempuan. Bagaimana, dunia memaknai perempuan sebagai “The Second Class”, utamanya ketika menyangkut pekerjaan dan karier. Bahwa laki-laki memiliki keunggulan tertentu atas perempuan baik secara norma sosial atau hukum yang masih bias gender.
Sebagaimana lirik pada “The Man” :
“I’m so sick of running as fast as I can”
“Wondering if i’d get there quicker if iwas a man”
“And i’m so sick of them coming at me again”
“Cause if I was a man, the I’d be the man”
“I’d be the man”
“I’d be the man”
Pemaknaan “Aku” dalam bait nyanyian tentu merujuk pada perempuan. Ketika membahas perempuan dalam dunia kerja, posisi perempuan dalam mempertaruhkan kenaikan jabatan amat sangat sukar dibandingkan dengan lelaki. Hal ini dibenturkan adanya stigma dan stereotipe yang mengakar dalam budaya patriarki di masyarakat. Stigma bahwa pemimpin selalu identik dengan lelaki. Membuat perempuan tak memiliki power untuk memimpin. Sebab, perempuan selalu dikatakan lemah dan diragukan kapasitas pengetahuannya.
Pada bait awal, Taylor Swift menuliskan pun sebuah lirik perihal kebebasan seorang perempuan terhadap tubuhnya:
“I would be complex, I would be cool”
“They’d say I played the field before I found someone to commit to”
“And that would be okay for me to do”
“Every conquest I had made would make me more of a boss to you”
Bait ini, Taylor Swift mengulik bahwa setiap “aku” (perempuan) memiliki kesempatan untuk keren sesuai degan versi yang dimilikinya. Kata “keren” itu, menjadi sebuah harapan agar perempuan bebas mengartikan impian dan harapan tanpa adanya campur tangan dari siapapun.
Walaupun begitu, perempuan tetap mengalami batasan terhadap tubuhnya sendiri. Mereka menganggap bahwa perempuan yang masih gadis masih belum berkomitmen dengan lelaki (menikah) hanya akan dianggap main-main sepanjang hidupnya.
Banyak orang juga mengatakan bahwa perempuan yang terlalu konsen dengan kariernya akan mengalami kesukaran dalam memiliki pasangan hidupnya. Tapi, bagi Taylor Swift itu tidak menjadi masalah. Selama perempuan dapat bebas mengekspresikan pekerjaan sesuai dengan hobi mereka, maka mereka sesungguhnya akan menjadi bos ataupun pemimpin bagi dirinya sendiri.
Artinya, kritik sosial yang ditulis oleh Taylor Swift bahwa menolak anggapan bahwa perempuan dianggap rendah sebelum berrumah tangga. Tidak memiliki kekuatan akan dirinya, seakan-akan kekerenan itu hanya ada jika mereka sudah berumah tangga.
Kepiawaian perempuan dalam segala lini seolah-olah ada ketika mereka memilih untuk menikah. Dipaksa menikah muda atas nama budaya yang patriarki. Padahal tak selamanya menikah muda berdampak positif, dan itu tergantung dengan mental serta kedewasaannya. Berapa banyak para pasangan yang menikah muda, namun juga bercerai secara cepat?
“I’d be a fearless leader”
“I’d be an alpha type”
“When everyone belives ya”
“What’s that like?”
Bait lagu, ini tentu lanjutan dari bait sebelumya “I would be complex, I would be cool……” Bahwa perempuan yang telah berani mendobrak budaya patriarki dan mengartikan tubuhnya sediri. Sesungguhnya, ia dapat menjadi seorang pemimpin. Pemimpin yang tidak mengenal rasa takut.
Sebagaimana Che Guevara pernah berkata “Keberanian itu seperti sikap keimanan. Jika kau peroleh keberanian maka kau memiliki harga diri. Sikap bermartabat yang membuatmu tidak mudah dibujuk”. Dia pun tidak mudah untuk didikte oleh apapun dan siapapun. Ia tetap pada garis keberanian dan prinsip yang ia tanam, sejak mendobrak budaya patriarki.
Selain itu, bait ini mengajarkan bahwa perempuan dalam meraih kesuksesaan itu atas kemauan diri sendiri bukan atas seorang lelaki, sebagaimana dogma yang tertanam di masyarakat patriraki.
“They’d say I hustled, put in the work”
“They wouldn’t shake their heads and question how much of this I deserve”
“What I was wearing, if I was rude”
“Could all be separated from my good ideas and power moves”
Bahkan, dalam bait lagu di atas, Taylor Swift pun menjelaskan bagaimana, atmosfer posisi perempuan di dunia kerja. Iya, menuliskan bahwa aku dalam arti perempuan suka terburu-buru dalam menyelesaikan pekerjaan. Namun, pekerjaan yang terselesaikan, seringkali dikatakan suatu kewajaran.
Bahkan kewajaran itu pun berujung kurangnya apresiasi terhadap perempuan. Misalnya dalam bait itupun juga menjelaskan “They wouldn’t shake their heads and question how much of this I deserve”, hak atas upah yang mesti dibayar sesuai dengan tenaga kerja yang dilakukan perempuan, masih terabaikan. Tidak ada apresiasi tentang itu. Mereka terancam hak ekonominya sebab norma, aturan, hukum tak memihak kepada mereka.
Oleh karena itu, menjadi suatu kewajaran apabila mereka tergolong dalam golongan rentan. Rentan akan kemiskinan yang menjerat dan terus berputar ulang.
“What’s it like to brag about drinking and dollars”
“And getting bitches and models?”
“And it’s all good if you’re bad”
“If I was flashing my dollars, I’d be a bitch not a baller”
“They’d paint me out to be bad”
“So, it’s okay that I’m mad”
Uang dan kuasa pun ditulis dengan begitu apik di sebuah bait lagunya. Tentu, perihal kasus kekerasan seksual yang sering kali menimpa si perempuan. Mereka sering menggunakan kuasa melalui uang untuk membeli tubuh perempuan, yang pada akhirnya terjalin hubungan yang toxic.
Ketika perempuan mencoba untuk bersuara soal pengalaman kekerasan seksual yang terjadi. Malah terkadang mereka mendapat cibiran bahwa mereka bukanlah korban, namun pelaku. Padahal berbicara hak atas manusia, maka perempuan seharusnya juga patut dihormati.
Mengenal Taylor Swift, seorang penyanyi sekaligus penulis lagu. Ia mencoba menyampaikan pesan, berupa kritik sosial dan perlawanan akan realitas yang terjadi di masyarakat. Taylor Swift menggunakan bahasa yang penuh keindahan dengan balutan nada yang memiliki pesan yang tersembunyi.
Dari Taylor Swift, kita pun belajar bahwa apapun dapat digunakan sebagai alat memperjuangkan kemanusiaan, sekalipun dengan lagu. Lagu yang sering terdengar, perlahan akan menggugah hati hingga menimbulkan kesadaran. Darinya pula kita belajar bahwa setiap manusia baik “dia” lelaki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berkembang sesuai dengan versi terbaiknya tanpa ada intervensi dari siapapun.
Lagu “The Man”, pun memberikan pesan untuk kita semua, bagaimana belenggu akan ketidakbebasan dan ketidakadilan perempuan baik di masyarakat hingga di dunia pekerja terjadi hingga menghilangkan kepercayaan perempuan. Kemampuannya kerap kali terabaikan dan dipertanyakan hingga menimbulkan kesenjangan yang begitu mendalam terhadap perempuan. []