Mubadalah.id – Miftahul ‘Ulum kembali berduka, belum genap 100 hari semenjak kepulangan Nyai Hj. Siti Masyitoh, adik beliau, guru kami semua, K.H. Hasan Rahmat yang akrab dengan sapaan Buya Hasan berpulang pada hari Selasa (06/07) sekitar usai menunaikan sholat shubuh, di kediaman beliau, Pondok Pesantren Miftahul ‘Ulum Terisi, Indramayu.
Kabar duka yang tersiar di grup Whatsapp, pagi itu terlalu sulit kami yakini. Kenyataan bahwa Buya telah tiada, rasanya sulit kami percaya. Duka yang mendalam, dan kesedihan yang tidak dapat tergambarkan di hati kami para santri, sebab kehilangan sosok Kiai panutan, selamanya. Terlalu banyak kenangan, teladan serta kebaikan-kebaikan yang beliau titipkan selama membersamai kami.
Buya Hasan, merupakan cucu K.H. Abdul Lathief, seorang tokoh masyarakat di desa Rajasinga, juga putra dari K.H. Abdurrohman Lathief pendiri Pondok Pesantren Miftahul ‘Ulum Terisi. Setelah wafatnya, K.H. Abdullah Basyaiban (Abah Ayip) pada tahun 2010, Buya meneruskan perjuangan ayah dan kakak ipar beliau dalam memangku tanggung jawab sebagai khodimul ma’had.
Ada banyak kenangan tak terlupakan bagi penulis sendiri selama nyantri kepada Buya. Dalam kesehariannya, Buya dikenal sebagai kiai dengan beragam aktivitas dan keahlian (multi-talent). Terbukti, di sela-sela padatnya jadwal mengajar para santri, beliau selalu menyempatkan untuk memperbaiki I’dad Tadris (Teaching Preparation) para asatidz, pada malam hari sebelum diajarkan kepada para santri.
Kedisiplinan menjadi nilai utama yang selalu beliau ingatkan kepada para santri maupun alumni. Buya banyak memberikan teladan bagi para santrinya, bagaimana kedisiplinan beliau dalam mengatur waktu, beribadah bahkan mengajar. Seringkali kami para santri mendapati beliau sudah di depan kelas dengan berpakaian rapih untuk mengajar, sedangkan kegiatan belajar mengajar baru akan dimulai beberapa menit kedepan.
Memasuki masa-masa ‘Aliyah, menjadi kesempatan tersendiri bagi para santri untuk lebih dekat dengan beliau. Beberapa mata pelajaran diampu beliau sendiri, dengan menggunakan bahasa Arab fushah yang terkadang diselingi slang-slang Inggris yang menurut kami asing. Dengan lugas dan santai, beliau menyampaikan banyak materi pelajaran dengan metode yang mudah dipahami para santri yang notabene wong jowo.
Kegigihan serta keikhlasan beliau dalam mengajar dan mengembangkan program bahasa asing di pesantren, berhasil menumbuhkan cita-cita para santri untuk fasih berbahasa. Bukan sekedar menjadi seorang guru, beliau juga berhasil menjadi arketipe kami dalam banyak hal. Beliau menanamkan di hati kami, himmah dalam belajar, mengaji dan mengabdi.
Semasa hidup, beliau seringkali menyempatkan juga beraktivitas di luar pesantren. Dan bertemu berbagai lapisan masyarakat. Kami mengenal beliau sebagai seseorang yang humble dan ramah terhadap siapapun. Itulah mengapa, dihari berpulangnya beliau, bukan hanya para santri dan alumni yang merasa ditinggalkan. Banyak sosok yang berduka atas kepergian beliau.
Di satu waktu, penulis mendapatkan kesempatan untuk menemani beliau dan istri bepergian ke salah satu tempat di Cirebon. Di tengah perjalanan, beliau berhenti dan memakirkan mobil yang kami tumpangi saat itu di salah satu masjid. Sangka penulis, beliau berhenti untuk sejenak melepas lelah. Selang beberapa menit setelah turun dari mobil, kami diminta mengambil wudhu lalu menunaikan shalat dhuha.
Selepas sholat dhuha, kami kembali memasuki mobil. Beliau ngendika, “Mbak, kapanpun, dimanapun, dalam keadaan apapun usahakan jangan tinggal dhuha.” Ujar beliau kepada saya. Selalu begitu, Buya memberi teladan kepada kami dengan perilaku dan sikap terlebih dahulu, dibandingkan lewat ucapan.
Sebagai seorang pendidik, beliau telah berhasil mencapai titik keberhasilan di akhir hayatnya. Perjuangan yang tiada lelahnya, melahirkan banyak santri yang bermanfaat di berbagai elemen. Konsistensi beliau dalam mendoakan para alumni di setiap kesempatan bahkan seusai sholat berjamaa’ah membuahkan hasil, banyak para alumni yang menempati berbagai bidang pekerjaan. Sesuai dengan amanat yang selalu beliau sampaikan, agar kami berusaha menjadi seseorang yang baik dan bermanfaat.
Meski kepergian beliau menyisakan kesedihan yang tiada usai, kenangan-kenangan ketika bersama beliau setidaknya menguatkan kami. Do’a yang tak putus dan kisah-kisah kebaikan yang ditulis saya dan para santri, semoga menjadi bukti bahwa kami berharap kelak diakui sebagai santri beliau. Aamiin. []