Mubadalah.id – Dalam mazhab Syafi’i dipopulerkan kisah bahwa Imam Syafi’i sendiri, sebagai peletak dasar-dasar mazhab ini, telah menggunakan metode istiqrâ untuk fiqh terkait haid atau menstruasi.
Dalam merumuskan fiqh haid ini, Imam Syafi’i bertanya terlebih dahulu kepada para perempuan tentang pengalaman mereka terkait menstruasi yang ia alami.
Sayangnya, metode ini tidak ada yang mengembangkan lebih lanjut. Jangankan untuk masalah-masalah kehidupan yang lebih luas dan kompleks yang sedang perempuan hadapi. Bahkan untuk masalah menstruasi pun, fiqh kita tidak memverifikasi dan merujuk pada pengalaman-pengalaman perempuan yang terus berkembang dan beragam.
Kita tahu, ilmu pengetahuan terkait anatomi tubuh dan temuan-temuan medis terkait reproduksi perempuan berkembang begitu pesat.
Tetapi, fiqh haid kita masih merujuk pada detail pandangan ulama yang begitu kompleks, yang entah masih valid kah jika kita rujuk pada ilmu biologi anatomi tubuh, temuan medis, dan terutama pengalaman nyata perempuan.
Dampak dari penggunaan alat kontrasepsi hormonal misalnya, banyak perempuan yang mengalami kekacauan daur menstruasi, kesakitan secara fisik, dan tekanan mental.
Jika pengalaman-pengalaman ini dijawab dengan pandangan fiqh mazhab Syafi’i. Misalnya sebagaimana tertulis dalam Risâlah al-Mahîdl– justru akan membingungkan dan menyulitkan para perempuan.
Alih-alih meringankan dan memudahkan, karena perempuan sedang sakit menstruasi. Sebagaimana itu prinsip syari’at Islam, fiqh haid yang ada malah memberi beban berat, yang sulit kebanyakan perempuan tanggung. Kesulitan ini akan perempuan alami setiap bulan dan sepanjang hidup mereka.
Jadi, perempuan yang mengalami masalah menstruasi, tidak saja memperoleh tekanan fisik dan psikis, tetapi juga ketika beragama.
Untuk itu, kita perlu menghidupkan kembali metode istiqrâ` ini, yang telah Imam Syafi’i awali. Tidak hanya urusan menstruasi, tetapi seluruh kehidupan yang perempuan alami. []