Mubadalah.id – Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah kejahatan yang telah turun-temurun, kejahatan yang paling sulit dideteksi karena ia berada dalam ruang privat istri dan suami. Membicarakan atau mengadukan KDRT kepada yang berwajib dianggap sebagai sebuah perilaku membuka aib. Dengan alasan tidak boleh menyebarluaskan aib, maka KdRT pun sebaiknya ditelan mentah-mentah saja. Bagaimana cara menghindari KDRT dengan perspektif kesalingan?
Ini realitas. Bahkan tidak jarang ditemukan fakta bahwa ketika istri sakit, saat dia kesulitan mengerjakan aktivitas rumah tangga seperti menyapu, mencuci pakaian, memasak dan lain sebagainya, lalu sang istri meminta bantuan kepada sang suami untuk berbagi peran sementara waktu, tetapi KdRT yang didapatkan. Dengan dalih bahwa pekerjaan rumah tangga bukanlah urusan suami, suami tega melakukan KdRT, mulai dari pembiaran, berkata kasar atau mungkin sampai main kekerasan.
Inilah penyakit patriarkhi yang akut. Pemahaman suami yang tidak berprinsip kesalingan dan berbagi peran. Adat dan budaya masyarakat kita mendukung perilaku KdRT selama berabad lama. Fatalnya, agama pun dijadikan dalih untuk semakin memojokkan posisi istri. Bahwa dalam keadaan sakit sekalipun, istri harus stand by melayani suami. Karena melayani suami bagian dari jihad istri. Astaghfirullah.
Perlu dipahami bahwa Islam melarang perilaku KdRT. KdRT adalah kejahatan yang menyebabkan dosa dan melanggar sisi kemanusiaan. Makanya, pemahaman keislaman kita terkait dengan relasi istri dan suami itu harus segera dibenahi. Bahwa menurut Islam, istri dan suami adalah makhluk Allah yang mulia, setara dan sederajat. Tidak ada ajaran Islam yang menyatakan bahwa suami otomatis lebih mulia daripada istri.
Islam justru agama yang menuntun umatnya untuk menegakkan prinsip kesalingan dan berbagi peran. Bahwa menurut Islam versi empat mazhab saja, pekerjaan rumah tangga justru bukan kewajiban istri, melainkan suami. Ada semacam paradoks antara realitas masyarakat dan ajaran Islam. Realitas menunjukkan fakta bahwa di mana-mana istri yang wajib mengerjakan urusan rumah tangga, sementara menurut ajaran Islam sebaliknya.
Kita mesti memilih jalan tengah. Sebuah jalan dan komitmen yang sesuai dengan janji suci pernikahan. Bahwa pernikahan adalah akad persaksian yang berat antara istri dan suami, kepada orang tua dan mertua, kepada masyarakat, terutama Allah Swt., untuk setia apapun risikonya, untuk saling melengkapi, saling menjaga dalam suka maupun duka. Hanya dengan memahami hakikat pernikahan dan relasi istri dan suami yang seimbang, KdRT akan bisa dihindari.
Ikhtiar-ikhtiar lain agar KdRT dapat diminimalisir adalah bahwa suami mesti memahami agar jangan menjadi suami yang maunya menang sendiri dan maunya hanya dilayani. Belajarlah untuk menjadi suami yang dewasa dan bijak, suami yang rendah hati, suami yang mau berbagi peran dengan istri. Hanya suami-suami yang bodoh saja, yang kemudian tega melakukan KdRT dalam banyak bentuknya; berkata kasar, tidak menafkahi, melarang-larang, main kekerasan fisik dan lain sebagainya.
Keterlibatan para tokoh agama dan lainnya juga penting. Bahwa menyampaikan pesan Al-Qur’an dan hadis tidak boleh memihak kepada satu jenis kelamin, apalagi kepada laki-laki. Al-Qur’an dan hadis adalah sumber kesalingan dan keadilan dalam Islam, yang tidak adil dan sewenang-wenang biasanya adalah orang yang menafsirkannya. Menafsirkan dan memahami sumber Islam dengan bias gender. Semoga sekarang dan ke depan KdRT dapat diminimalisir dan urung terjadi. Jangan ragu mengadukan apabila di antara lingkungan terdekat kita ada yang mengalami KdRT. Wallaahu a’lam. []
Baca juga: Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan dengan Mubadalah