Mubadalah.id – Setiap orang berusaha membuktikan rasa cinta dengan melamar pasangan, kemudian menikahinya. Ikatan janji suci pernikahan menjadi wujud tertinggi dan mutlak pembuktian hubungan yang serius baik terhadap pasangan maupun keluarganya. Namun, tahukah salingers bahwa memberikan janji nikah juga tak jarang menjadi alat untuk melakukan kekerasan?
Mengutip dari surat curhat pembaca yang termuat di Fimela dalam tulisan Patresia Kirnandita, Junior Editor Magdalene, ia menceritakan sebuah pengalaman perempuan yang dijanjikan akan pacarnya nikahi.
Tata (nama samaran), telah menjalin hubungan bersama pacarnya selama 8 bulan. Ia bahkan telah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya sampai hamil. Pacarnya berjanji akan bertanggung jawab dengan menikahi Tata, namun ternyata hanya bualan semata.
Kisah Tata bukanlah satu-satunya. Ada banyak perempuan yang diiming-imingi nikah oleh pacarnya. Dampak dari budaya patriarki yang menganggap laki-laki lebih pantas untuk melamar, sedangkan perempuan tidak. Sehingga menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan saat berhadapan dengan janji nikah.
Perempuan Rentan Menjadi Korban
Laki-laki yang memutuskan untuk membatalkan janji nikah biasanya tidak begitu masalah, sedangkan jika perempuan yang menolak, justru akan panen hujatan. Belum lagi menyangkut manipulasi dalam relasi di balik janji nikah palsu.
Menilik banyak kasus yang terjadi, pelaku dengan sadar menjanjikan nikah untuk memperdaya perempuan. Sehingga, pelaku dapat meminta apapun pada pasangan, termasuk keperawanannya. Ketika perempuan telah memberikan hal tersebut, yang terjadi justru sang pacar tega meninggalkannya begitu saja.
Meskipun pada awalnya hubungan seksual tersebut mungkin bisa kita katakan atas dasar suka sama suka, namun perempuan tetaplah menjadi korban. Dalam pandangan Poppy Dihardjo, aktivis perempuan, menegaskan bahwa meskipun hubungan seksual tersebut berdasarkan consent dua orang, namun tetap perempuan menjadi korban kekerasan perasaan atau emosional.
Mengingkari janji nikah yang telah disepakati, pastinya akan melukai perasaan pasangan. Beririsan pula dengan ghosting, tidak memberi kabar, meninggalkan tanpa penjelasan, juga termasuk dalam kekerasan emosional.
Mengenal Kekerasan Emosional
Kekerasan emosional anggapannya seringkali remeh oleh orang sekitar. Alih-alih berempati, mereka tidak jarang menyalahkan korban. “Salah kamu juga, sih. Gampang banget percaya, mau-maunya makan janji palsu.”
Padahal, dampak bagi korban janji nikah palsu, begitu juga ghosting, sangat berpengaruh besar dan dapat terasa dalam jangka panjang. Kekecewaan yang amat berat korban tanggung, kerap kali menciptakan trust issue dalam diri.
Dampak negatif dari trust issue, membuat korban mengalami gangguan kepribadian seperti, emosi tidak stabil, mudah curiga, juga gangguan kecemasan yang membuat korban kehilangan kepercayaan diri.
Hal ini juga tidak terlepas dari adanya budaya patriarki yang mengagungkan keperawanan. Kehormatan perempuan terletak pada keperawanannya. Lantas jika perempuan sudah kehilangan keperawanan sebelum menikah, maka sama saja dengan kehilangan kehormatannya, anggapannya “sudah rusak”.
Padahal, yang harusnya benar-benar kehilangan kehormatan adalah laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun, kekerasan emosional, fisik, mental, seksual, bahkan ekonomi.
Janji nikah palsu juga berdampak pada ekonomi. Korban atau keluarganya telah mengeluarkan sejumlah uang untuk persiapan pernikahan. Namun, hal tersebut akan berakhir sia-sia jika janji nikah diingkari oleh salah satu pihak.
Bahkan, ada laki-laki yang berusaha melakukan aksi penipuan berkedok janji nikah. Ketika korban telah memberikan sejumlah dana yang telah tersepakati, pelaku justru membawa lari uang tersebut. Acap kali kasus ini juga tidak berdiri sendiri, melainkan ada komplotan yang bergerak di belakang.
Jeratan Hukum bagi Pelaku
Oleh karenanya, Aida Mardatillah, seorang pengacara dan jurnalis, dalam tulisannya di HukumOnline.com, mengatakan bahwa orang yang tidak menepati janji nikah dapat kita jatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung (MA).
Penjelasan hal ini sebelumnya ada dalam Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang sekarang sudah disahkan menjadi UU TPKS, terkait eksploitasi seksual pada pasal 12.
Penjelasan pengingkaran janji nikah juga ada dalam buku “Perempuan Menggugat Atas Integritas Tubuh Dirinya Tidak Terpenuhinya Janji Kawin” (2017) yang ditulis oleh Dr. Lusiana Margareth Tijow, S.H., dan Prof. Dr. Sudarsono, S.H., M.S.
Berlandaskan teori hak asasi manusia, keadilan, perlindungan hukum, dan hukum berperspektif feminis, bahwa perempuan korban janji nikah palsu mengakibatkan penderitaan fisik, psikis, seksual, emosional, sosial, juga ekonomi.
Argumen mereka merujuk pada pasal 1 ayat (2) UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sehingga, kerugian yang korban alami merupakan dampak langsung dari pengabaian dan pelanggaran hak asasi manusia.
Pernikahan yang merupakan salah satu jalan kebaikan, menyempurnakan iman, serta menjalankan Sunnah Rasul, sangat tidak patut kita jadikan janji palsu dengan niat yang buruk, yakni menyakiti perempuan. Tidak hanya kekerasan yang nampak jelas oleh panca indera seperti fisik atau seksual, tetapi kekerasan emosional juga sama buruknya bagi perempuan untuk melanjutkan kehidupannya. []