Mubadalah.id – Dalam konstruksi pemikiran keagamaan klasik, perempuan kerap kali diposisikan sebagai sumber fitnah yang berbahaya bagi tatanan masyarakat. Potensi fitnah ini dianggap melekat secara inheren dalam tubuh perempuan. Sehingga keberadaan mereka di ruang publik seolah menjadi ancaman moral dan sosial.
Salah satu hadis yang kerap menjadi dasar untuk mendomestikasi perempuan berbunyi: “Setiap perempuan yang keluar rumah maka para setan akan mengikuti sambil berbisik: goda ini, bujuk itu…” (HR Ahmad, VI/371).
Dalam riwayat lain menyebutkan, “Salatmu di rumahmu lebih baik dari salatmu di mushala kampungmu, dan salatmu di mushala kampungmu lebih baik dari salatmu di masjidku (Nabi)”. Serta, “Salat perempuan yang paling Allah cintai adalah di tempat yang paling gelap di dalam rumahnya” (HR. Ibn Khuzaimah dan al-Baihaqi).
Hadis-hadis ini telah melahirkan pandangan keagamaan yang secara sistematis menganjurkan perempuan untuk tetap berada di rumah, atau setidaknya tidak keluar sendirian. Alasannya bukan karena ketidakmampuan mereka. Tetapi karena tubuh perempuan akan menggoda dan mengundang syahwat.
Bahkan, seolah-olah masyarakat tidak bisa menahan diri bila ada perempuan berjalan di depan mereka. Maka, anjuran ini bukan hanya sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan. Tapi juga terhadap masyarakat dari godaan tubuh perempuan.
Pandangan serupa juga menjadi alasan bagi sebagian kalangan untuk menolak perempuan mengisi ruang-ruang publik. Mulai dari memimpin salat, menjadi pemimpin komunitas, hingga menduduki jabatan negara.
Benarkah Perempuan Mengganggu Laki-laki?
Kekhawatiran utama mereka bukan soal kapasitas intelektual atau kemampuan manajerial. Melainkan potensi tubuh perempuan yang bisa mengganggu kekhusyukan atau menurunkan produktivitas kerja laki-laki.
Sebagaimana yang saya kutip dari Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, ada hadis yang berbunyi: “Tidak sekali-kali aku tinggalkan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian, selain fitnah perempuan” (HR Bukhari, No. 4808).
Bahkan dalam riwayat Abu Hurairah menyebutkan: “Sumber kesialan (isyu’m) itu ada tiga: perempuan, rumah, dan kuda” (HR. Bukhari, lihat: al-Asqalani, VI/150-152). Pandangan semacam ini menempatkan perempuan tidak hanya sebagai fitnah, tetapi juga sebagai simbol kesialan.
Dalam narasi keagamaan yang didominasi cara pandang seperti ini, seksualitas perempuan dianggap aktif, bahkan hiperaktif, dan oleh karena itu harus dikontrol secara ketat. Tujuannya agar tidak mengganggu syahwat laki-laki.
Sayangnya, cara pandang ini justru mereduksi kemanusiaan perempuan hanya pada tubuh dan potensi seksualnya. Tanpa mempertimbangkan akal, spiritualitas, dan kontribusi sosialnya.
Sudah saatnya warisan tafsir dan pemikiran keagamaan semacam ini dikaji ulang dengan pendekatan yang lebih kontekstual, adil gender, dan berbasis pada maqashid syariah (tujuan-tujuan luhur syariat), bukan sekadar pada potongan literal teks.
Karena bila tidak, maka agama akan terus dijadikan alat untuk membatasi ruang hidup perempuan, bukan membebaskannya sebagai manusia utuh. []