Mubadalah.id – Dahulu, kedewasaan diukur dengan menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Saat ini kita menyadari bahwa kedua kondisi tersebut hanya menunjukkan kematangan biologis untuk urusan reproduksi secara fisik.
Kedewasaan tentu saja bukan soal usia semata, tetapi juga soal kematangan bersikap dan berperilaku. Usia dibutuhkan sebagai batasan dan penanda kongkrit yang dapat dipergunakan sebagai standar bagi kedewasaan.
Hal tersebut, karena pernikahan tidak hanya soal pelampiasan hasrat seksual atau biologis semata. Pernikahan juga mengandung tanggung-jawab sosial yang besar dan mengemban visi sakinah, mawaddah wa rahmah (mendatangkan ketentraman diri, kebahagiaan dan cinta kasih).
Demikian beratnya visi dan tanggungjawab yang ada dalam sebuah pernikahan, maka kedewasaan merupakan salah satu item yang memberikan pengaruh signifikan dalam kelanggengan rumah tangga di masa mendatang.
Demikian pentingnya kedewasaan dalam pernikahan, Ibn Syubrumah, Abu Bakr al-Asham, dan Utsman al-Batti yang merupakan pakar hukum Islam klasik sampai mengeluarkan fatwa keabsahan sebuah pernikahan di bawah umur.
Mereka mendasarkan pandangan ini kepada ayat al-Qur’an yang mengaitkan waktu pernikahan seseorang dengan usia kematangan dan kedewasaan (rushd). Sebagaimana dalam QS. an-Nisa ayat 6:
ابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ
Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai (usia) menikah. Ketika kamu sudah melihat mereka sudah cerdas, maka berikanlah harta-harta mereka kepada mereka. (QS. an-Nisa ayat 6)
Syarat kedewasaan ini menjadi semakin penting karena studi yang ada menunjukkan bahwa perkawinan yang mereka lakukan di usia dini atau belia memiliki kecenderungan untuk bercerai.
Kondisi tersebut terasa logis karena kesiapan mental pasangan yang belia belum cukup untuk mengarungi kehidupan rumah tangga di masa sekarang. []