Mubadalah.id – Berbicara tentang nilai toleransi, maka penting bagi kita sebagai umat Islam untuk berbicara tentang Nabi Muhammad saw. Beliau adalah pionir toleransi di tanah Arab dan dunia Islam secara keseluruhan. Semenjak sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau sudah menjadi teladan kedamaian di tanah Arab.
Semisal ketika pemugaran Kakbah, dengan cerdiknya beliau menanamkan nilai toleransi dan perdamaian terhadap kabilah-kabilah yang bersitegang memperebutkan kesempatan mengembalikan hajar aswad ke tempatnya semula. Namun jika kini ditemukan bahwa umat Islam bertikai, saling menyalahkan dan semacamnya, maka dapat dipahami bahwa mereka tidak meneladani sejarah kehidupan Rasulullah dengan baik.
Semenjak hijrah ke Madinah, Nabi saw. mulai membangun pondasi kehidupan sosial bernegara. Hal pertama yang beliau lakukan adalah mempersaudarakan antara muslim pendatang (muhajirin) dengan muslim lokal (anshar). Kedua belah pihak dipersaudarakan karena adanya kesamaan agama (ukhuwah islamiyah).
Tak hanya itu, beliau juga membangun solidaritas yang kuat antara muslim dengan penduduk yang beragama Nasrani dan Yahudi dengan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kesatuan tanah air (ukhuwah insaniyah dan wathaniyah).
Solidaritas dengan non muslim maupun penduduk lokal yang dilakukan Nabi saw. di Madinah adalah dengan membuat satu kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut terkait dengan hak, kewajiban serta perlindungan keamanan dalam kehidupan bernegara. Kesepakatan tersebut ditulis dan menjadi undang-undang konstitusi yang mengatur jalannya kehidupan majemuk di negara Madinah.
Dalam tahap berikutnya, kesepakatan tersebut dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Bahkan, Menurut Zainal Abidin Ahmad, seorang cendekiawan muslim dalam bukunya Piagam Nabi Muhammad saw: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia, 1973 (baca: Republika.co.id, post 04 Oktober 2020, Piagam Madinah Bukti Ajaran Muhammad saw…) Piagam Madinah tersebut menjadi konstitusi bernegara tertulis pertama di Dunia. Jauh melampaui sejumlah konstitusi lainnya di dunia, seperti Magna Charta dan Konstitusi Amerika Serikat.
Tindakan membangun pondasi kenegaraan yang berbasis nilai toleransi, perdamaian dan persaudaraan ini adalah langkah pertama yang Nabi Muhammad saw. lakukan tepat setelah membangun masjid Nabawi sebagai pusat ibadah dan kegiatan kemasyarakatan umat muslim.
Disebutkan dalam Fikih Sirah Nabawiyah karya Said Ramadan Al-Buthi, bahwa Piagam Madinah memiliki 4 poin penting nilai-nilai kedamaian (Fikih Sirah Nabawiyah, 151-154). Yaitu sebagai berikut:
- Konstitusi Bernegara Sudah Ada dalam Islam Semenjak Awal
Piagam Madinah yang dibuat oleh Rasulullah saw. dan disepakati oleh seluruh penduduk Madinah saat itu menjadi bukti bahwa komunitas muslim dari awal sudah berdasarkan atas undang-undang konstitusional yang kokoh. Piagam tersebut juga menunjukkan bahwa negara Islam semenjak awal sudah memenuhi kebutuhan primer sebuah negara, yaitu unsur-unsur manajerial yang valid dan terstruktur.
Dengan adanya undang-undang tersebut, siapapun dan dalam komunitas apapun selama masih dalam batas teritori akan tergabung dalam persatuan Negara Madinah dan dalam naungan Islam. Mereka –tanpa melihat perbedaan yang dimiliki– akan disatukan dalam naungan yang sama dengan posisi yang setara sebagai warga negara, sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama pula.
Poin-poin ini secara eksplisit tertuang dalam pasal pertama yang berbunyi: “Muslim Quraisy maupun Yatsrib dan orang-orang di luar mereka tapi ikut bergabung dan berjuang bersama, adalah kesatuan komunitas manusia secara utuh.” Pasal ini memperlihatkan bahwa Islam sangat ramah terhadap perbedaan apapun yang dimiliki selama masih memiliki tujuan yang sama.
Dalam hal ini, kita kemudian dapat memahami bahwa istilah Negara Madinah sebagai negara Islam tidak merujuk kepada pemahaman bahwa negara ini hanya dikhususkan untuk umat muslim. Justru sebaliknya, Islam menerima semua perbedaan yang ada untuk tergabung dalam satu komunitas yang seluruh undang-undangnya bernafaskan Islam yang notabene mengedepankan kedamaian.
- Solidaritas Dan Tanggung Jawab Bersama
Pasal kedua dan ketiga dalam Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian besar terhadap kemanusiaan. Khususnya manusia dalam statusnya sebagai bagian dari komunitas. Pasal kedua adalah “orang-orang muslim sekalipun berbeda asal suku, wajib untuk saling bekerja sama dan saling menebus jika ada yang menjadi tawanan dengan cara-cara yang baik dan dibagi secara adil antara sesama muslim.”
Sementara pasal ketiga adalah “sesama kaum muslim tidak akan ditinggalkan dalam keadaan memiliki hutang atau tanggung jawab besar. Namun mereka saling membantu untuk meringankan kesulitan saudaranya.”
Dua pasal di atas menunjukkan bahwa kerja sama dan gotong royong sudah ditanamkan oleh Islam (melalui Rasulullah saw.) Masing-masing anggota masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengurus kehidupan dunia dan akhirat.
Jika ada sebagian sedang kesusahan, maka menjadi kewajiban saudaranya untuk membantu meringankan. Bahkan jika kita teliti lebih lanjut, mayoritas syariat Islam berpondasikan akan nilai toleransi dan perdamaian ini. Seperti syariat membayar zakat, sedekah, hibah, waqaf dan lain-lain.
- Kesetaraan dalam Hak dan Kewajiban
Nilai ini terangkum dalam pasal ketujuh. “Tanggungan Allah adalah satu. Allah melindungi manusia yang paling rendah (sekalipun). Mukmin yang satu harus mengasihi mukmin lainnya sebagai sesama manusia.” Pasal ini menunjukkan bahwa nilai kesetaraan sesama manusia tidak hanya slogan yang dikoar-koarkan dalam Islam. Namun justru menjadi salah satu pondasi penting yang diperhitungkan dalam syariat untuk kehidupan berbangsa yang berbasis Islam.
Pasal ini merangkum banyak hukum. Misal, ketidak bolehan merusak kehormatan orang lain sebagaimana dia juga memiliki hak untuk dihormati; kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban secara sosial; serta hukum-hukum fikih seperti syariat hudud dan lain-lain.
- Hukum Islam Sebagai Undang-undang Peradilan
Poin ini dirangkum oleh pasal kedua belas. “Apapun yang terjadi pada anggota kesepakatan ini (muhajirin-anshar, muslim-yahudi, Quraisy-Yatsrib-Aus-Khazraj dan lainnya) berupa kasus atau perselisihan yang rentan mendatangkan kekacauan, maka dikembalikan kepada hukum Allah swt. dan Muhammad saw.”
Pada pasal ini tampak bahwa syariat Islam diposisikan sebagai pusat undang-undang. Sebagian orang mungkin mengira bahwa pasal ini menunjukkan bahwa Islam ‘memonopoli’ hukum. Padahal jika kita lebih teliti, pasal ini justru menunjukkan bahwa Islam mengambil posisi urgen dalam menghormati hak setiap individu. Islam tidak menghendaki adanya hal yang mengganggu anggota kesepakatan ini. Alih-alih memonopoli, Islam justru tampil menengahi setiap konflik yang mungkin terjadi nantinya.
Dari paparan di atas, kita dapat belajar bahwa perumusan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhamamd saw adalah tonggak baru dalam sejarah Islam. Dengan adanya kesepakatan tersebut, Islam telah menjadi pionir dalam membentuk konstitusi dengan nilai toleransi, cinta damai, dan peduli pada hak masing-masing individu dan golongan.
Baca : Teladan Nabi Bergaul dengan Non Muslim
Tulisan di atas hanya memaparkan poin-poin yang mencakup nilai toleransi antar sesama muslim atau antara muslim dengan non muslim. Padahal perjanjian ini juga mencakup terhadap nilai-nilai toleransi resiprokal antar sesama non muslim. Insya Allah akan di bahas pada tulisan berikutnya. Allahu A’lam. []