• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Menjabat Tangan-tangan Sastra Pesantren

Tidak ada yang tahu pasti kapan sastra pesantren bermula. Banyak sekali sumber yang menyatakan bahwa hulunya hingga zaman walisongo

Adila Amanda Adila Amanda
04/04/2024
in Sastra
0
Sastra pesantren

Sastra pesantren

746
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berkenalan dengan sastra pesantren sebenarnya tidak jauh beda dengan berkenalan pada sastra umumnya. Namun semenjak “kelahirannya”, mencari maknanya seperti orang yang menggapai-gapai angin. Gerakan dan karyanya yang banyak—seperti angin, akan tetapi sepertinya untuk mencari definisi yang tepat saja sangat sulit. 

Sastrawan pesantren sering kali membawa definisinya masing-masing dengan batasan yang juga beragam. Ada sastrawan pesantren yang menolak batasan dan kriteria, ada juga yang ngotot untuk memiliki batasan demi kemaslahatan sastra pesantren itu sendiri. Maka ketika berkenalan dengan definisi, agaknya tersodor di hadapan kita banyak tangan yang mengaku sastra pesantren. 

Badrus Sholeh sendiri mendeklarasikan pada mimbarnya “Sastra Pesantren, Semua Suara Berharga”. Menurutnya, perdebatan antara batas untuk menentukan definisinya sebenarnya hanyalah bentuk dari dialektika yang akan membawa pada sebuah jawaban atas kegelisahan-kegelisahan para pemikir sastra. 

Badrus Sholeh ingin semuanya terus mendengarkan perdebatan-perdebatan seperti: Apa beda sastra pesantren dengan sastra islam, sastra qurani, dan sastra profetik? Apakah karya seorang yang bukan santri layak kita sebut sastra pesantren?

Peristiwa semacam ini cenderung memaksa bahwa semua karya sastra yang bertemakan pesantren termasuk dalam kesusatraan pesantren. Pembatasan yang tidak jelas itu sepertinya akan semakin saling terbentur dengan aliran sastra yang bertemakan islam secara garis besar. 

Dengan demikian, menjadi beralasan jika Binhad Nurrahmat melayangkan sebuah autokritik terhadap genre sastra ini. Dalam “Gincu Merah Sastra Pesantren”, Binhad menganggap bahwa sastra pesantren hanyalah “gincu” (baca: pelabelan) yang secara serampangan. Pelabelan ini disandangkan kepada karya-karya sastra yang seakan-akan akan membuat sebuah karya menjadi cantik dan memikat. Selebihnya tak mempertimbangkan dari segi estetikanya.  

Baca Juga:

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

Ulasan Crime and Punishment: Kritik terhadap Keangkuhan Intelektual

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

Kartini Tanpa Kebaya

Binhad juga menilai bahwa sastra pesantren hanyalah sebuah sumur yang airnya sering penulis pakai sebagai bahan utama penciptaan karya. Kekayaan tradisi dalam pesantren sering terpakai tanpa melalui proses kesusastraan. Maka bukanlah beda jika sastrawan pesantren yang mengenalkan khasanah tradisi pesantren tanpa menggunakan bahasa sastrawi.

Mencari Sejarah Sastra Pesantren

Tidak ada yang tahu pasti kapan sastra pesantren bermula. Banyak sekali sumber yang menyatakan bahwa hulunya hingga zaman walisongo.

Hal ini menunjukkan bila sastra pesantren yang sering menjadi perbincangan hari ini lebih sering membahas sejarah zaman walisongo daripada merumuskan definisi dan batasan atau posisinya. Dengan demikian, deklarasi-deklarasi seperti sastra profetik dan sastra Islami juga sering dianggap termasuk ke dalamnya.

Jika merujuk pada Prosiding Muktamar Pemikiran Santri Nusantara berjudul “Sastra pesantren di Arena Sastra Indonesia” oleh Rina Zuliana dan M. Mujibuddin SM. Mereka menjelaskan bahwa corak kesusastraan pesantren dalam sejarah mulai berubah pada tahun 2000-an.

Hal ini terlihat dari munculnya karya-karya seperti Perempuan Berkalung Surban dan Mairil. Pada tahun-tahun inilah karya-karya sastra zaman ini lebih tampil sebagai sebuah karya yang membahas sosial budaya kepesantrenan maupun autokritik terhadap budaya buruk pesantren itu sendiri. 

Berbeda dengan periode sebelumnya tahun 70-an dengan karya-karya sufistik dari Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, bahkan Kuntowijoyo yang beliau sendiri memproklamirkan sastra profetik. Memang pada periode itu sastrawan-sastrawan tidak ramai memperbincangkan tentang kesusastaan pesantren dan justru karya mereka sendirilah yang menjadi wajah dari sastra islam di Indonesia. 

Karena historis genre sastra ini sendiri yang tidak jelas sedari kapan adanya, sehingga Rina dan Mujibuddin ini memasukkan sastra islam periode 70-an ini sebagai embrio dari lahirnya sastra-sastra kepesantrenan yang sering diperbincangkan di berbagai diskusi dan simposium akhir-akhir ini. 

Hal itulah yang membuat mereka mengklasifikasikan kesusastraan pesantren menjadi dua periode; yaitu klasik dan modern. Klasik di tahun 70-an yang berkutat di ranah-ranah sufistik dan modern di tahun 2000-an yang membahas tentang sosial budaya pesantren. 

Sastra Serius vs Sastra Populer

Sepertinya bukan terlalu baru pergulatan diskusi perihal “apakah ini sastra?” di lingkungan kesusastraan. Pun apa yang terjadi dengan polemik terminologis kesusastraan pesantren. 

Terlebih dahulu, Rina dan Mujibuddin menemukan bahwa sastra pesantren—seperti arena sastra umumnya—memiliki sub-arena yang saling beroposisi dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik milik Pierre Bourdieu. Gampangnya, dua sub-arena ini adalah satu; sastra serius yang ‘sangat nyastra’ dan dua; kubu sebelah, yaitu sastra populer yang berkarya berdasarkan pasar sastra dan produksi massal.

Jika berdasar pada polarisasi sastra serius dan sastra populer, tempo hari ini pun genre sastra ini lebih menggunakan pijakan sastra ‘sinematik’ dan sastra populer sebagai lahan tumbuh kembangnya.

Tak dapat dipungkiri jika karya-karya seperti Hati Suhita, Perempuan Berkalung Surban, dan Negeri 5 Menara berhasil mencapai legitimasi pasar sastra tahun belakangan. Rini dan Mujibuddin juga menilai perlunya perbaikan dalam literer, estetika, dan stilistika di dalamnya.  

Budaya untuk melanjutkan hasil karyanya sebagai suatu komoditas sastra yang memikat dan bergengsi untuk menjadi bahan jual beli bukanlah suatu hal yang baik.

Produk-produknya juga perlu berimbang dengan karya sastra yang berkontestasi secara simbolis, prestise, dan selebrasi artistik non-komersialis. Sehingga sastra pesantren dapat kembali ke zaman Ahmad Tohari, Musthofa Bisri, Acep Zamzam Noor, Danarto, Kuntowijoyo, D. Zawawi Imron atau Sutardji Calzoum Bachri itu. []

 

Tags: Definisikarya sastraLiterasi PesantrenSastraSastra PesantrenWalisongo
Adila Amanda

Adila Amanda

Senang ber-fafifu dengan topik-topik sastra, lingkungan, pergerakan, filsafat, dan apa saja. Lebih suka menulis karena ia tak lebih berat daripada merindu.

Terkait Posts

Kapan Menikah

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

29 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

15 Juni 2025
Abah dan Azizah

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

8 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

1 Juni 2025
Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

25 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID