• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menjadi Ibu Rumah Tangga dan Ibu Bekerja sama-sama Beratnya

Sudah saatnya khalayak menerima kehidupan perempuan yang lebih bermartabat dengan peran yang ia pilih secara sadar

Rifa Zuhro Rifa Zuhro
07/03/2024
in Personal
0
Menjadi Ibu Rumah Tangga

Menjadi Ibu Rumah Tangga

823
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menjadi perempuan tidak akan ada habisnya untuk tidak kita intimidasi kehidupannya. Mulai dari kecil hingga tumbuh dewasa perempuan selalu menjadi objek menarik untuk kita legitimasi menjadi makhluk yang baik ataupun buruk dengan standar yang dibuat oleh tatanan masyarakat tertentu.

Tentu tidak semuanya sama, namun terdapat benang merah sama yang perempuan alami, antar satu dengan perempuan yang lainnya itu tidak berbeda. Hal-hal yang intimidatif, dituntut sempurna, menjadi salihah, dan menjadi makhluk sempurna sesuai dengan standar sosial.

Setelah melalui proses yang panjang dalam kehidupan perempuan, ia pun masih harus mengalami hal serupa setelah berumah tangga atau berstatus menjadi istri dan ibu. Yakni kontruksi sosial yang mengharuskan perempuan menjadi istri yang salihah dan ibu yang baik untuk anak-anaknya.

Perempuan selalu dituntut untuk menjadi apa yang norma inginkan. Namun perempuan jarang sekali untuk kita persilahkan mengambil jalan hidup yang ia pilih secara sadar dan adil yang mengutamakan kebahagiaan dan kebaikan untuk diri diasendiri. Sehingga bisa kita lihat saat ini, banyak perempuan yang berstatus istri ataupun menjadi ibu rumah tangga merasa kehilangan jati diri. Karena dia hidup tidak lagi memprioritaskan kehidupannya sendiri.

Baik kita akui maupun tidak, ditampakkan maupun tidak, hal tersebut seperti gunung es di lautan dalam. Tidak banyak muncul di permukaan, tetapi benar adanya.

Baca Juga:

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Stigma terhadap Perempuan

Tuntutan terhadap perempuan mulai ketika seorang perempuan dewasa belum menikah, pasti akan kita pertanyakan, kenapa belum menikah? Berbeda dengan laki-laki dewasa yang belum menikah, masyarakat akan lebih memakluminya untuk mengejar karir terlebih dahulu atau alasan yang lainnya.

Setelah menikah, perempuan masih akan jadi objek penilaian. Lambat laun akan muncul pertanyaan tentang kapan rencana memiliki anak ataupun tidak. Seolah-olah perempuan wajib memberikan anak kepada realitas tanpa tahu kondisinya.

Tidak berhenti di situ, pengaturan terhadap perempuan juga masih terus berlanjut. Saat hamil, melahirkan, bahkan cara pengasuhan juga masih sering kita banding-bandingkan dengan standar kepantasan sosial. Padahal perempuan di sini adalah makhluk yang mempunyai batas kesanggupan, bukan mesin robot ataupun malaikat yang bebas cela.

Sering juga kita melihat kasus, ibu yang mengalami depresi atau baby blues setelah melahirkan. Alih-alih mendapatkan bantuan, justru ibu kita menilainya sebagai orang yang lemah dan tidak bertanggung jawab. Padahal perawatan anak dari lahir sampai dewasa kelak adalah tanggung jawab dua belah pihak antara ibu dan ayah.

Baby Blues

Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) mengungkapkan sebanyak 57 % ibu di Indonesia mengalami baby blues. Hal itu menjadikan Indonesia menjadi peringkat tertinggi di Asia untuk ibu yang mengalami baby blues.

Terbaru ini kita melihat pemberitaan seorang ibu di Sumbawa, Kamis (1/2/2024) yang melakukan kekerasan kepada anaknya hingga meninggal dunia. Hal tersebut dugaannya terpicu oleh cibiran tetangga yang menilai buruk tentang tumbuh kembang anaknya yang bayi berusia 10 bulan yang belum merangkak. Dan masih banyak kasus-kasus yang serupa di setiap tahunnya.

Tentunya kita semua tidak ingin hal itu terjadi, apalagi berulang tanpa ada tindakan pencegahan dari berbagai pihak. Sebab, menjadi seorang ibu tidaklah mudah, dari proses mengandung dan melahirkan pasti terdapat perubahan fisik dan psikis yang sang ibu alami. Hal ini akan jauh dari ekspektasi seorang ibu yang tergambarkan dalam iklan bahwa seorang perempuan yang melahirkan akan tiba-tiba menjadi ibu yang penyayang dan ramah.

Padahal sangat manusiawi apabila ibu juga merasakan lelah, sedih, dan tidak sempurna. Dan di sinilah peran keluarga sekitar untuk membantu peran ibu saat hamil, dan pasca melahirkan. Sebab ketika ibu bahagia, juga akan membuat anak menjadi tumbuh bahagia.

Ibu Bekerja

Pelabelan negatif pasti juga ibu bekerja alami. Dinilai tidak tahu prioritas, tega meninggalkan anak-anaknya di rumah, tidak pandai mengurus rumah, suami dan lain-lain. Hal ini tentu tidak benar, karena kondisi setiap keluarga berbeda adanya.

Atau tidak semua orang beruntung pada garis nyaman dan bahagia seperti kisah romansa. Padahal tidak jarang, perempuan meninggalkan karir (peran publik) yang ia bangun demi mengurus keluarganya. Tentu, hal-hal semacam ini bukan sebuah proses yang mudah. Harus ada kesadaran penuh dalam setiap mengambil keputusan yang melibatkan kedua belah pihak.

Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga maupun ibu bekerja sama-sama mempunyai peran yang berat setiap harinya. Kita tidak tahu sejauh mana mereka sedang berjuang untuk diri dia sendiri. Tugas kita saat ini adalah mendukung dan mensupport apapun keputusan perempuan untuk terus hidup dan bertumbuh dengan baik. Baik dengan proses yang cepat maupun lambat. Semua punya caranya masing-masing, dan kita tidak berhak untuk saling menghakimi.

Sudah saatnya khalayak menerima kehidupan perempuan yang lebih bermartabat dengan peran yang ia pilih secara sadar. Dengan tidak menjudge pilihan perempuan, kita telah mendukung kehidupan berharga mereka. Bukankah ini adalah ajaran agama untuk saling memanusiakan manusia tanpa membeda-bedakan karena ia laki-laki atau perempuan? []

Tags: Baby Bluesbeban gandaIbu Bekerjaibu rumah tanggaperempuanstigma
Rifa Zuhro

Rifa Zuhro

Perempuan yang tertarik dengan isu-isu sesama perempuan & penulis Buku Pendidikan Islam Nusantara, tinggal di Jombang Jawa Timur. IG: ririf.asa

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID