Karena tidak semua yang bisa dibagikan, perlu untuk dibagikan.
D.s. Adzro Junaidi
Mubadalah.id. Di tengah derasnya arus informasi, ruang maya telah hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Media sosial tidak lagi hanya digunakan sebagai sarana hiburan, tetapi telah menjadi ruang ekspresi, komunikasi, bahkan pembentukan identitas diri. Namun, di balik kemudahan tersebut, krisis privasi dan penyalahgunaan data pribadi semakin sering terjadi. Dalam konteks inilah, nilai-nilai Qur’ani dipandang relevan sebagai landasan etika bermedia sosial.
Ruang Digital dan Krisis Privasi
Ruang digital memang menjanjikan keterhubungan tanpa batas. Melalui media sosial, orang dapat membangun relasi, berbagi gagasan, dan mengekspresikan diri. Namun, di balik kemudahan tersebut, ruang digital juga menyimpan kerentanan. Ketika kesadaran etis tidak berjalan seiring dengan kecanggihan teknologi, alih-alih mempererat, ruang ini justru menciptakan luka dan sekat.
Krisis privasi tidak hanya lahir dari serangan siber atau sistem keamanan yang lemah. Tanpa disadari, para pengguna media turut berperan dalam ‘bengkak’nya kasus- kasus krisis privasi.
Dengan aktivitas kebiasaan berbagi informasi tanpa pertimbangan, bergelut di media tanpa batasan, serta kurangnya pengetahuan tentang teknologi yang bijak, menjadi cikal bakal maraknya kasus krisis privasi. Dalam situasi ini, hukum memang penting, tetapi belum cukup untuk membangun ruang digital yang aman. Di sinilah etika bermedia menemukan urgensinya.
Etika tidak hanya berfungsi sebagai aturan, tetapi juga sebagai kesadaran moral yang menuntun cara berinteraksi di ruang digital. Al-Qur’an menawarkan nilai-nilai yang relevan untuk membaca ulang praktik bermedia hari ini, terutama melalui konsep Amanah (seperti dlm Qs. Al-Ahzab ayat 72) dan Tabayyun (Qs. Al-Hujurat ayat 6). Keduanya mengajarkan tanggung jawab dalam menjaga data dan kehati-hatian dalam menyikapi informasi.
Amanah Digital sebagai Nilai Dasar
Dalam perspektif Al-Qur’an, manusia memahami amanah sebagai titipan yang menuntut tanggung jawab penuh dalam penjagaannya. Amanah tidak hanya menyangkut harta benda, tetapi juga mencakup informasi, kepercayaan, serta keselamatan orang lain. Atas dasar itu, umat dapat mengadaptasikan prinsip ini ke dalam kehidupan digital sebagai konsep amanah digital.
Manusia hendaknya mempraktikkan amanah digital dengan menjaga data pribadi, baik milik sendiri maupun milik orang lain. Dengan tidak serta-merta menyebarkan informasi yang diterima serta tidak menggunakan akses data secara sembarangan. Setiap unggahan, komentar, dan pesan harus menjadi pengingat, bahwa hal itu merupakan sebuah tindakan moral yang membawa konsekuensi tersendiri.
Di era media sosial, jari-jari berfungsi sebagai perpanjangan lisan. Karena itu, setiap kita perlu menahan jari-jari dari menyebarkan data sensitif, tangkapan layar pribadi, atau informasi rahasia. Kesadaran bahwa tidak semua hal yang bisa dibagikan harus dibagikan menjadi penanda penting dalam membangun etika amanah digital.
Tabayyun Digital: Saring Sebelum Sharing
Selain amanah, Islam menegaskan tabayyun sebagai prinsip fundamental dalam menyikapi informasi. Tabayyun memandu umat untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi sebelum menerima atau menyebarluaskan suatu kabar. Arus informasi digital yang cepat dan mudah dimanipulasi menuntut kita menjadikan prinsip ini sebagai pegangan bersama.
Dalam praktiknya, tabayyun digital mendorong pengguna media untuk memeriksa sumber informasi, mengecek keakuratan data, dan mempertimbangkan dampak sosial sebelum membagikan suatu konten. Pengguna tidak serta-merta mempercayai informasi hanya karena viral atau dibagikan oleh banyak orang. Sebaliknya, sikap kritis dan kehati-hatian perlu diutamakan dalam setiap interaksi digital.
Dengan menerapkan tabayyun digital, pengguna media sosial dapat mencegah dan meminimalisir penyebaran hoaks, fitnah, dan disinformasi. Prinsip ini juga melindungi privasi individu karena pengguna menahan diri untuk tidak menyebarkan informasi personal tanpa dasar yang jelas dan izin yang sah. Oleh karena itu, tabayyun tidak hanya berperan sebagai etika informasi, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme perlindungan sosial di ruang digital.
Al-Qur’an dan Etika Bermedia
Ajaran-ajaran etis yang terkandung di dalam Al-Qurán tidak hanya mengatur relasi manusia di ruang fisik, tetapi juga memberikan panduan moral dalam interaksi virtual. Perkembangan teknologi komunikasi menuntut pembacaan ulang nilai-nilai keagamaan agar tetap kontekstual dan mampu menjawab persoalan yang semakin kompleks.
Krisis privasi tidak lagi sekadar soal masalah teknologi atau sistem keamanan. Ia menjadi persoalan sikap dan kesadaran batin. Ketika seseorang menyalahgunakan data, ia sejatinya sedang mengkhianati amanah. Sama halnya ketika menyebarkan informasi tanpa verifikasi dan klarifikasi berarti mengabaikan prinsip tabayyun. Karena itu, etika digital dalam perspektif Al-Qur’an menuntut kita untuk lebih bijak, berhati-hati, dan bertanggung jawab dalam setiap aktivitas bermedia sosial.
Sebagai generasi muda, kita memegang peran penting dalam menghidupkan etika Qur’ani di ruang digital. Kita dapat memulainya dengan memperluas edukasi digital berbasis nilai-nilai Qur’ani, baik melalui komunitas, media sosial, maupun ruang-ruang diskusi publik yang kita akses setiap hari. Melalui langkah-langkah sederhana ini, kita ikut menumbuhkan kesadaran bersama tentang pentingnya amanah dan tabayyun dalam bermedia.
Kita juga perlu menanamkan identitas sebagai pengguna media yang beretika sejak dini. Media sosial tidak cukup kita isi dengan konten kreatif dan viral, tetapi perlu kita rawat dengan kesadaran moral dan tanggung jawab. Dengan kesadaran tersebut, kita dapat menghadirkan ruang digital sebagai ruang yang lebih aman, adil, dan berkeadaban—ruang yang tidak hanya ramai oleh informasi, tetapi juga hidup oleh nilai. []











































