Mubadalah.id – Dalam menghadapi krisis ekologis global yang semakin mendesak, pendekatan teologis terhadap lingkungan menjadi semakin relevan dan penting. Salah satu tokoh yang menawarkan kontribusi signifikan dalam bidang ini adalah Prof. KH. Nasaruddin Umar.
Dia adalah seorang cendekiawan muslim Indonesia yang konsisten mengusung ekoteologi Islam—yakni upaya menyinergikan nilai-nilai spiritualitas Islam dengan kesadaran ekologis. Pemikiran beliau menempatkan alam sebagai entitas yang sakral, penuh makna spiritual, dan harus dirawat secara berkelanjutan.
Fondasi Teologis Ekoteologi Islam versi KH. Nasaruddin Umar
Ekoteologi dalam pandangan Prof. KH. Nasaruddin Umar berangkat dari pemahaman bahwa alam adalah bagian dari wahyu Tuhan, bukan hanya sebagai objek eksploitatif manusia. Dalam berbagai ceramah dan tulisan ia menegaskan bahwa alam semesta (kosmos) merupakan ayat-ayat kauniyah yang harus kita baca, kita pahami, dan kita jaga sebagaimana kita menjaga ayat-ayat qur’aniyah.
Bagi beliau, Al-Qur’an adalah kitab yang terbuka, di mana tanda-tanda Tuhan tidak hanya tertulis dalam mushaf, tetapi juga termanifestasi di dalam ciptaan-Nya—langit, bumi, gunung, air, hewan, dan tumbuhan.
KH. Nasaruddin memaknai peran manusia bukan sebagai “penguasa alam” melainkan sebagai khalifah yang bertanggung jawab secara spiritual dan moral atas keberlangsungan ciptaan Tuhan. Dalam hal ini, konsep “rahmatan lil ‘alamin” bukan hanya berlaku antar-manusia, tapi juga mencakup keberkahan dan kasih sayang terhadap seluruh makhluk hidup, termasuk alam.
Oleh sebab itu, merusak lingkungan, mencemari air, menebang hutan sembarangan, atau mengeksploitasi sumber daya alam secara rakus, merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanah kekhalifahan yang telah Allah berikan kepada manusia.
Prof. Nasaruddin juga mengajak umat Islam untuk kembali membaca Al-Qur’an dalam konteks ekologis. Misalnya, dalam Surah Ar-Rahman yang berulang kali menegaskan keseimbangan (mīzān) dan keharmonisan dalam ciptaan Tuhan, umat diajak untuk tidak merusak atau melampaui batas.
Dengan pendekatan ini, ekologi tidak lagi berdiri sendiri sebagai masalah teknis, tetapi menjadi bagian dari dimensi teo-kosmologis—merupakan hubungan manusia dengan Tuhan melalui perantara ciptaan-Nya.
Ekospiritualitas sebagai Jalan Kesadaran Baru
Salah satu tawaran paling penting dari KH. Nasaruddin Umar adalah gagasan tentang ekospiritualitas—bentuk spiritualitas yang lahir dari kedekatan manusia dengan alam sebagai cermin dari kehadiran Ilahi.
Dalam tradisi tasawuf yang banyak beliau geluti, hubungan manusia dengan Tuhan tidak pernah lepas dari kesadaran tentang makhluk-makhluk lainnya. Bahkan dalam beberapa tarekat, pengalaman kedekatan spiritual justru semakin tajam ketika dilakukan di alam terbuka, di bawah langit yang luas, atau di tepi sungai yang tenang.
Ekospiritualitas yang dimaksud di sini bukan sekadar perasaan takjub terhadap keindahan alam, tetapi merupakan bentuk ketundukan dan kontemplasi akan keagungan Sang Pencipta. Dalam perspektif ini, melihat seekor burung yang bebas terbang atau pohon yang terus tumbuh menjadi pelajaran moral dan spiritual. KH. Nasaruddin mendorong agar umat Islam tidak hanya belajar dari kitab, tapi juga belajar dari semesta.
Lebih jauh lagi, beliau mengusulkan pentingnya reformulasi ibadah dalam konteks ekologi. Misalnya, dalam wudhu yang melibatkan air, hendaknya kita lakukan dengan kesadaran untuk tidak boros dan menjaga kelestarian air.
Dalam haji, umat Islam diajak untuk tidak mencemari tanah suci dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Bahkan dalam sedekah, umat bisa kita arahkan untuk menanam pohon, mendukung petani lokal, atau mengelola sampah berbasis masjid.
Ekospiritualitas yang beliau tawarkan ini sejatinya membentuk kesadaran ekologis yang berbasis iman, bukan sekadar kampanye lingkungan biasa. Kesadaran ini menyentuh dimensi batin dan membangun rasa tanggung jawab yang lebih mendalam terhadap bumi sebagai rumah bersama ciptaan Tuhan.
Implementasi Ajaran Ekoteologi dalam Kehidupan Sosial Keagamaan
Ajaran ekoteologi ala KH. Nasaruddin Umar tidak berhenti pada tataran wacana, melainkan didorong untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam. Salah satu contoh paling nyata adalah dorongan beliau agar masjid menjadi pusat gerakan hijau (green movement). Masjid bukan hanya tempat ibadah ritual, tetapi juga pusat edukasi, pengelolaan sampah, konservasi air, serta penghijauan lingkungan sekitar.
Lebih lanjut, beliau menekankan pentingnya kurikulum pesantren dan pendidikan Islam untuk mengintegrasikan materi-materi lingkungan secara lebih sistematis. Bagi beliau, santri adalah agen perubahan sosial yang paling potensial untuk menyebarkan ajaran ekoteologi ini ke masyarakat luas. Sebagaimana pesantren menjadi pusat dakwah keislaman, maka di era krisis iklim ini, pesantren harus menjadi pionir dakwah ekologis.
KH. Nasaruddin juga aktif dalam forum lintas agama dan internasional, mengajak berbagai kalangan untuk melihat krisis lingkungan sebagai masalah iman dan kemanusiaan bersama.
Dalam pandangan beliau, menjaga bumi adalah ibadah universal yang dapat menyatukan semua agama dan golongan. Oleh sebab itu, umat Islam harus menjadi yang terdepan dalam membela dan merawat lingkungan, baik melalui advokasi kebijakan, kegiatan komunitas, maupun gaya hidup ramah lingkungan.
Ajaran ekoteologi ala Prof. KH. Nasaruddin Umar adalah ajakan kembali kepada fitrah Islam yang rahmatan lil ‘alamin—sebuah ajaran yang memuliakan makhluk hidup, merawat bumi, dan memuliakan Tuhan melalui tanggung jawab ekologis.
Dalam konteks krisis iklim global hari ini, ajaran beliau bukan hanya relevan, tetapi mendesak untuk disemarakkan. Umat Islam, melalui pendekatan spiritual dan sosial yang menyeluruh, dapat menjadi pelopor gerakan penyelamatan bumi sebagai bentuk nyata dari ibadah dan cinta kepada Sang Pencipta. []
Umar, Nasaruddin. (2016). Tasawuf Modern: Menggali Intisari Kehidupan Spiritual. Jakarta: Lentera Hati.
Umar, Nasaruddin. (2020). Islam dan Ekologi: Menemukan Kembali Fitrah Alam. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Agama dan Krisis Ekologi”, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.