Mubadalah.id – Senang sekali kalau ke kondangan makanannya model prasmanan. Banyak opsi nasi dan lauk, siapa bebas ambil menu apa saja, asyik sekaligus aneh, kesukaan tiap orang berbeda-beda jadi semua menu hampir kita pastikan ada peminatnya masing-masing. Perumpamaan menu beragam ini, sebagai ibarat ketika kita menyikapi perbedaan.
Bagaimana dengan kondangan dengan menu tunggal? Bukan lantas bersedih tapi kasihan saja ke orang yang tidak bisa atau alergi lauk tertentu. Dan kebetulan yang dihidangkan adalah menu itu.
Inilah indahnya keberagaman. Asyik dan bisa jadi tiap orang bisa merasakan dua-tiga menu secara bergiliran. Anehnya keberagaman juga saya temukan pada penikmat rokok. Satu orang merasa nyaman dengan LA, yang lain nyaman dengan Marlboro, Sampoerna Mild atau Surya.
Meski nyaman dengan rokok tertentu pasti tiap mereka pernah merasakan merk rokok lain, baik dengan suka rela atau sedang kepepet situasi ekonomi. Misal saat sedang luas rejeki merokok Marlboro tapi di akhir bulan saat sisa uang pas-pasan merokok Oepet. Tak masalah, yang penting merokok.
Pendapat Ulama Menyikapi Perbedaan
Begitu halnya dengan pendapat ulama ketika menyikapi perbedaan. Pendapat-pendapat mereka adalah hidangan Tuhan untuk manusia nikmati. Siapapun bebas memilih pendapat ulama yang mana saja, sesuai selera yang dilatarbelakangi oleh daerah dan berpengaruh pada perasa (lidah)-nya. Orang Jawa Tengah yang cenderung suka masakan manis ttak perlu menyalahkan lidah orang Madura yang doyan asin. Itu lumrah. Bisa jadi dipengaruhi iklim geografisnya atau karena memang orang Madura yang sudah manis-manis. Hehe.
Namun faktanya tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) yang menyalahkan pendapat ulama lain. Puncaknya ada yang membid’ah dan mengkafirkan. Padahal menurut pikiran dangkal alfaqir yang bodoh ini, enak sekali dalam satu agama tersedia banyak jalan untuk kita tempuh, menuju tujuan yang tunggal.
Abdul Wahab asy-Sya’rani mengilustrasikan syariat Islam sebagaimana pohon besar, sedangkan pendapat para ulama bagaikan ranting dan dahan. Banyak, dan beragam. Tidak ada ranting dan dahan tanpa pohon, sebagaimana tidak ada pendapat ulama tanpa dasar.
Kriteria Ulama
Ulama sebagai umana (orang kepercayaan) para rasul mustahil berkhianat. Mustahil juga menyembunyikan alih-alih menyelewengkan pesan syariat. Lalu ada yang musykil dengan kriteria ulama, melihat jaman sekarang begitu gampang menyematkan seseorang sebagai ulama. Kriteria ulama tidak sesempit di benak sebagian orang, seorang yang berbicara satu dua ayat-hadis di depan jamaah.
Ulama –bentuk plural dari alim- menurut kiai Afifuddin Muhajir Guru Besar Usul Fikh Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, adalah seorang yang memadukan keahlian dan takwa. Man jama’a bainal fiqh wal khasyyah. Memiliki keahlian, pakar di bidang tertentu, di sisi lain punya ketakwaan yang kuat. Memiliki salah satunya tidak cukup.
Asy-Sya’rani dalam mukaddimah al-Mīzān al-Kubrā, seseorang tidak disebut alim kecuali mengetahui pijakan-pijakan pendapat ulama, tahu dari mana sumbernya, tahu perbandingan madzhab. Bukan seorang yang memilih pendapat dan menolak pendapat lain dengan sikap bodoh dan permusuhan.
Yang demikian itu adalah tanda kebodohan yang sebenar-benarnya. Karena pendapat yang blunder hanya pendapat yang bertentangan dengan teks Islam, ayat dan hadis yang tegas. Sedangkan teks yang masih multitafsir masih terbuka peluang reinterpretasi oleh seorang alim/orang yang memiliki kapasitas keilmuan.
Menghadapi Beragam Pendapat Ulama
Lantas bagaimana sikap kita menghadapi beragam pendapat ulama tersebut? Imam Asy-Sya’rānī menawarkan dua sikap untuk kita contoh. Pertama, yakin bahwa seluruh madzhab yang dipimpin oleh –the real- ulama, tiap pendapatnya memiliki dalil dan argument.
Kedua, setiap pendapat ulama hanya berbeda posisi antara dekat dan lebih dekat. Jauh dan lebih jauh. Berdasarkan maqam, situasi, kondisi setiap muslim. Untuk tingkatan umat Nabi yang tidak mampu melakukan amalan berat ya ojo dipaksaken, amalkan sesuai kemampuan.
Jika boleh, saya menambahkan dua poin saja; ketiga, mampu membedakan territorial daerah akidah dan furu’, akidah tidak bisa diotak-atik, furu’/cabangnya seperti masalah fikih ibadah, fikih nikah, fikih ekonomi, fikih sosial bisa berubah-ubah. Kedua, tidak mendeklarasikan kebodohan dengan menyalahkan pendapat ulama. Sekian. Wallahu a’lam bisshawab. []