Mubadalah.id – Menjelang pemilu, perbedaan pilihan akan banyak muncul di permukaan. Itu bukan masalah, melainkan sebuah keniscayaan. Pelangi indah karena banyaknya warna yang saling terpadu. Tanpa ada satu warnapun yang mendominasi. Begitulah perbedaan bekerja.
Setiap manusia memiliki kecenderungan terhadap suatu hal. Apalagi soal pilihan. Memaksa sifat alamiah tersebut sama saja berbuat zalim kepada orang lain. Dalam hal apapun, pemaksaan bukanlah hal terpuji.
Berbeda dalam pilihan itu wajar, yang tidak benar adalah memaksa orang lain untuk memiliki pilihan yang sama. Di sinilah pentingnya rasa saling menghormati atas keputusan orang lain.
Realita Sosial tentang Perbedaan Pilihan
Saya pernah mendengar cerita seseorang atas kejadian yang menimpa dirinya dan keluarganya. Singkat cerita, ada suami memaksa istri dan anaknya untuk memiliki pilihan yang sama dalam kontestasi politik. Alih-alih memberikan alasan logis, justru sang suami menyatakan sikap untuk tidak menafkahi keluarga jika permintaan tersebut tidak terpenuhi.
Bukan tanpa sebab, istri dan anaknya memiliki alasan yang kuat dalam kecenderungan pilihannya. Setelah kontestasi selesai, ancaman atas ketidakpercayaan suami terhadap pilihan istri dan anaknya berdampak cukup panjang. Relasi dalam keluarganya menjadi kurang baik dan sering terjadi perselisihan.
Begitu besar dampak dari perbedaan pendapat yang orang lain tidak bisa menerimanya. Dengan memanfaatkan kekuatannya, ia merasa pantas untuk menekan bahkan mengancam orang-orang yang seharusnya ia lindungi. Ini adalah bukti jika memandang perbedaan sebagai masalah.
Rasulullah Saw Tidak Mempermasalahkan Perbedaan
Jika kita telisik lagi, Rasulullah tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat. Bahkan dalam suatu kasus, Nabi membenarkan kedua pendapat yang berbeda asal tidak bertentangan dengan syariat.
Ada suatu riwayat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Nabi mengutus beberapa sahabat untuk mengunjungi perkampungan Bani Quraizhah. Nabi berpesan untuk tidak melakukan salat ashar selain di perkampungan Bani Quraizhah.
Tingginya rasa cinta dan kepatuhan terhadap Nabi, sahabat langsung menerima perintah tersebut tanpa mempertanyakan alasannya. Para sahabat seakan sudah mengetahui maksud Nabi. Begitulah rasa cinta, memandang segala sesuatu dengan nilai kasih sayang. Bukan dengan curiga dan keburukan.
Di tengah perjalanan, waktu salat ashar sudah masuk. Ada salah satu sahabat yang menginginkan untuk melaksanakan salat ashar di perjalanan. Ia khawatir waktu salat ashar akan habis. Di sisi lain ada sahabat yang tetap ingin melaksanakan salat ashar ketika sudah sampai di perkampungan Bani Quraizhah. Bukan masalah waktu, melainkan mereka menganggap bahwa ini adalah amanah langsung dari Nabi sebelum pemberangkatan.
Kedua belah pihak dari rombongan sahabat masih tetap teguh dengan pendiriannya masing-masing. Alhasil, ada yang memaknai pesan nabi secara kontekstual dan memilih untuk melaksanakan salat ashar di tengah perjalanan. Ada juga yang memaknai pesan nabi secara tekstual sehingga memilih untuk salat ashar di perkampungan Bani Quraizhah.
Para sahabat mengadukan peristiwa perbedaan pendapat ini kepada Rasulullah untuk mendapatkan titik temu. Dengan rasa kasih sayang, Nabi membenarkan kedua pendapat tersebut asalkan tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam setiap ruang perbedaan, harus ada nilai kebaikan yang menjadi pegangan. Jangan sampai sifat keras dan egois menjadi kompas dalam pengambilan sikap. Nabi menujukkan bahwa perbedaan tidak akan selesai dengan perselisihan. Nabi senantiasa menunjukkan setiap makna dari indahnya perbedaan.
Dasar Perbedaan dalam Memilih Ulil Amri
Perintahnya, agar setiap manusia memilih ulil amri (pemimpin) yang baik. Bukan siapa pemimpinnya. Namun, seringkali perintah ini menjadi dasar untuk memaksa orang lain agar memiliki pilihan yang sama.
Sifat fanatisme buta seringkali mengaburkan nilai-nilai kasih sayang terhadap sesama. Ia merasa pendapatnya paling benar. Tidak jarang, pendapat tersebut berangkat dari kepentingan masing-masing yang ingin tercapai dengan cepat.
Manusia memiliki hak dasar. Termasuk hak pilih. Memaksa pilihan seseorang sama halnya mengancam keseimbangan dasar seseorang. Saya kira, pilihan dalam setiap kontestasi politik bukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Maka sangat mungkin terjadi perbedaan.
Jangan merugikan keselamatan orang lain hanya untuk memenuhi keinginan yang tidak membawa kebaikan. Biarkan orang lain memilih atas dasar kesadarannya sendiri. Jika memang perlu pengarahan, maka arahkan dengan santun tanpa pemaksaan. Dengan begitu, kerukunan antar satu dengan yang lain dapat terjaga dengan baik. []