Mubadalah.id – Baru-baru ini, dalam sebuah podcast, Aquarina Kharisma Sari, seorang penulis asal Malang yang menerbitkan buku berjudul Anti Feminisme, mengemukakan pandangan bahwa ada banyak feminis di Indonesia yang salah mendiagnosis persoalan gender.
Menurut Aquarina Kharisma Sari, patriarki bukanlah sistem penindasan mutlak. Melainkan struktur sosial yang bila dijalankan dengan benar dapat melindungi perempuan dan anak. Ia juga mengemukakan bahwa ia menolak apa yang ia sebut sebagai victim culture dalam feminisme dan mengkritik afirmasi kuota gender. Bagi Aquarina, feminisme telah melahirkan cara pandang di mana perempuan mendaku dirinya sebagai korban dari budaya.
Meskipun tampak berbasis data maupun fakta, pendapat Aquarina ini, sebenarnya sedang mengarahkan kita untuk mendapatkan pemahaman yang keliru tentang tujuan dan esensi feminisme sesungguhnya.
Mengenal Terlebih Dahulu Apa Itu Feminisme dan Ketimpangan Gender?
Feminisme bukan gerakan yang memposisikan perempuan sebagai korban, meskipun harus kita akui banyak isu yang terangkat oleh feminisme membahas tentang penderitaan perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki.
Namun, feminisme bukanlah gerakan yang akan menjadikan perempuan terus-menerus sebagai korban. Karena kita tahu bahwa ketidakadilan gender atau sistem patriarki tak hanya merugikan perempuan saja, tapi juga laki-laki.
Apa yang sebenarnya diincar feminisme? Tentu saja, keadilan. Artinya, tidak ada dominasi dari laki-laki terhadap perempuan maupun sebaliknya.
Dengan titik berangkat pemahaman bahwa feminisme bukanlah gerakan yang mendominasi ataupun menjadikan salah satunya sebagai korban, melainkan menjadikan laki-laki dan perempuan memperoleh keadilan sesuai porsinya. Pernyataan ini akan menjawab pernyataan Aquarina yang mengatakan bahwa feminisme menempatkan perempuan sebagai korban adalah sebuah pemahaman yang keliru.
Jadi, fokus feminisme adalah berusaha untuk memperbaiki ketidakadilan. Bukan membentuk seseorang memiliki mental korban.
Pandangan Aquarina tentang Patriarki
Menurut Aquarina Kharisma Sari, patriarki dapat menjadi struktur sosial yang melindungi dan menafkahi perempuan serta anak-anak jika kita jalankan dengan benar. Ia menolak pandangan feminisme yang menurutnya terlalu individualistis dan kurang mempertimbangkan realitas kelas bawah di Indonesia.
Ia juga mengangkat bahwa dalam konteks budaya Jawa, terdapat bentuk matriarki domestik. Di mana perempuan memegang peran penting dalam pengelolaan rumah tangga dan ekonomi keluarga, meski tidak tampil sebagai pemimpin formal di ruang publik.
Patriarki yang Benar, atau Patriarki yang Gagal?
Dalam podcast tersebut, Aquarina juga berpendapat bahwa ada bentuk patriarki yang benar yang justru dapat melindungi perempuan. Pendapat ini sejatinya mengandung risiko romantisasi sistem yang pada kenyataannya memiliki rekam jejak panjang dalam membatasi hak-hak perempuan.
Sistem yang melahirkan ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan ini telah menunjukkan bukti bahwa kekerasan berbasis gender terhadap perempuan masih tinggi. Tentu saja banyak di antaranya bersumber dari norma sosial yang patriarkal. Menganggap patriarki sebagai netral atau potensial positif justru mengaburkan fakta bahwa relasi kuasa yang timpang adalah sesuatu yang sering menutup kontrol perempuan atas hidupnya sendiri.
Jadi dengan ketimpangan yang justru mendiskriminasi ini, masihkah patriarki bisa kita anggap sesuatu yang benar? atau justru gagal menciptakan keadilan dan perlindungan?
Islam dan Feminisme
Dalam buku Menjadi Feminis Muslim (2022), Nina Nurmila, seorang guru besar di bidang gender dan Islamic studies menyatakan bahwa feminisme Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah itu Maha Adil. Sehingga firman-Nya di dalam Al-Qur’an pasti mendukung keadilan.
Pemahaman ini menegaskan bahwa memperjuangkan hak perempuan bukanlah bentuk permusuhan terhadap laki-laki, melainkan upaya menegakkan prinsip keadilan yang menjadi inti ajaran Islam.
Pandangan ini menjadi begitu penting untuk melawan narasi yang menganggap feminisme bertujuan menjadikan perempuan sebagai penguasa atau korban. Karena sebenarnya inti perjuangan feminisme adalah kesetaraan hak dan kesempatan yang sama dalam beroleh keadilan.
Kesalahpahaman Memaknai Feminisme
Sebagaimana kita tahu, Islam juga kerap kita salahpahami sebagai agama yang mendukung dominasi laki-laki. Demikian pula feminisme sangat mungkin kita salahpahami sebagai gerakan yang konon, menempatkan perempuan sebagai korban–sebagaimana yang Aquarina pahami dan paparkan.
Padahal, jika kita telisik lebih dalam, mengakui pengalaman diskriminasi terhadap perempuan atau laki-laki yang menjadi korban patriarki, bukan menjadikan seseorang memiliki mental korban, melainkan langkah awal untuk melakukan perubahan.
Bukankah untuk mengetahui penyelesaian suatu masalah, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mendapatkan data-data tentang masalah itu sendiri?
Demikianlah cara feminisme bekerja. Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mendengar semua pengalaman perempuan. Kemudian akan menjadi dasar penyusunan kebijakan yang efektif atau cara kita dalam membentuk gerakan yang dapat mengatasi kekerasan dan kerugian yang perempuan alami akibat diskriminasi dan ketimpangan gender itu sendiri.
Artinya, menyamakan feminisme dengan budaya korban adalah kesalahpahaman yang justru menunjukkan adanya pengaburan tujuan dari gerakan feminisme sendiri. Feminisme tidak berhenti pada identifikasi masalah saja, tetapi bergerak menuju solusi yang membongkar ketidakadilan struktural.
Keadilan Sebagai Spirit yang Dijunjung dalam Feminisme Islam
Dalam Islam, keadilan adalah prinsip utama. Maka, memperjuangkan kesetaraan atau keadilan gender bukanlah soal menentang laki-laki atau menghapus peran sosial tertentu. Bukan pula menjadikan salah satu pihak sebagai korban dari pihak yang lian. Melainkan memastikan bahwa setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kesempatan yang sama untuk hidup bermartabat dan bermanfaat tanpa terbatasi oleh gender maupun jenis kelaminnya. []