Mubadalah.id – Indonesia, adalah negara besar, yang penduduknya sangat beragam. Baik agama, suku, warna kulit dan rasnya. Salah satu ciri utama warganya adalah, sikap hidup mereka yang menempatkan agama sebagai prinsip penting dalam hidupnya. Tidak hanya itu, simbol Agama juga akan selalu melekat, sebagai identitas penting bagi umumnya warga negara. Sedikit sekali orang Indonesia yang memilih untuk tidak beragama. Jikapun ada, mereka enggan menunjukkan pilihannya itu ke publik.
Masing-masing pemeluk agama memiliki ritual keagamaan yang secara rutin dirayakan. Tidak heran, jika banyak libur nasional karena alasan ada perayaan agama. Ada yang merayakan ritual tersebut secara individu maupun berjamaah dalam satu agama. Ada juga jenis perayaan ritual keagamaan yang sarat nilai sosial dan kemanusiaan secara universal. Perayaan itu dianggap tidak sakral, terbuka, bisa diikuti oleh siapa saja.
Komunitas muslim Indonesia memiliki budaya unik saat memasuki bulan puasa. Momen itu akan kita rayakan secara bersama-sama. Bentuk perayaannya juga beragam. Ada yang melakukan bersih diri dengan cara mandi bersama-sama di sungai ataupun kolam. Lalu, ada yang mendatangi kuburan untuk berdoa. Dan ada pula yang saling berkirim pesan lewat media sosial untuk bermaaf-maafaan. Juga ada yang merayakanya dengan cara makan ramai-ramai di tempat ibadah. Seperti tradisi potluck.
Tradisi Unik di Kantor
Merayakan perbedaan seperti itu juga rutin dilakukan di kantor saya, The Asia Foundation Indonesia setiap menjelang puasa. Kami menamakannya dengan istilah “cucurak”. Istilah berbahasa Sunda. Praktiknya simpel, seluruh staf akan berkumpul bersama, lalu makan dan minum beramai-ramai. Tujuannya juga simpel, untuk memperkuat silaturahmi antar staf. Perayaan seperti cucurak ini juga kami lakukan dalam rangka menyambut Natal dan Tahun Baru. Ketika perayaan Imlek, kami secara beramai-ramai akan menggunakan pakaian bercorak merah, berfoto bersama dan tidak lupa, berbagi hadiah dengan yang lain.
Masing-masing staf akan membawa berbagai jenis makanan dan minuman unik, dan enak. Semua kami kumpulkan di atas meja, kemudian disantap bersama-sama. Sebelum acara santap makan, akan didahului dengan sambutan dari pimpinan kantor, lalu doa bersama sebelum makan. Uniknya, agenda do’a bersama akan kami lakukan sesuai dengan beragam agama yang merepresentasi jumlah pemeluk agama di kantor. Untuk tahun 2023, doa kami lakukan dalam 3 agama. Islam, Kristen dan Budha. Hal itu sesuai dengan jenis agama yang dianut oleh kurang lebih 80 staf di kantor.
Selama 13 tahun saya bekerja di kantor tersebut, sudah mengikuti 13 kali perayaan seperti itu. Semakin lama, ritual perayaan itu semakin kreatif dan meriah. Selain acara doa dan makan-makan, ada games, pembagian hadiah, menyanyi. Semua bergembira dan bahagia. Perayaan khas itu menjadi moment yang dirindukan oleh para staf di kantor.
Para penggerak perayaan itu berlaku secara bergantian secara alamiah. Menjelang bulan puasa, kawan-kawan Non-Muslim yang aktif bekerja. Ketika hendak masuk waktu Natal dan Tahun Baru, giliran mereka yang beragama Islam lah yang lebih banyak bekerja. Spirit yang terbangun adalah menghidupkan nilai kesalingan dalam menghormati perbedaan, dan menjunjung tinggi pilihan agama masing-masing individu.
Merayakan Perbedaan dengan Gembira
Sepintas, ritual perayaan tersebut nampak seperti makan-makan biasa. Tidak ada yang istimewa dari tradisi potluck yang biasa terjadi. Namun, jika terlibat aktif dalam perayaan itu, kesan yang muncul sungguh sangat dalam. Ada spirit kebersamaan sangat kuat yang terinternalisasi ke dalam batin para pelakunya. Ada nilai solidaritas, kerukunan yang diteguhkan secara alamiah, lalu termanifestasi secara nyata melalui perayaan bersama itu.
Sebagai orang yang berlatar belakang pendidikan agama Islam sejak belia, dulu saya tidak terbiasa bergaul dengan orang yang berbeda agama. Namun, budaya kerja di kantor ini, telah mengajarkan saya akan nilai solidaritas, kebersamaan, toleransi, saling menolong sebagai sesama manusia. Nilai kemanusiaan itu menjadi lebih terasa wujudnya. Interaksi personal dengan kawan-kawan satu kantor yang berbeda agama begitu cair, tanpa sekat dan lebih mudah. Saya sama sekali tidak punya sikap curiga, hanya karena alasan berbeda agama.
Mengapa Tradisi Perayaan Bersama itu penting?
Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, bahwa bagi warga Indonesia, hidup dengan prinsip dan simbol agama itu utama. Memang, ajaran dasar semua agama akan selalu berada pada pusaran kebaikan, kejujuran dan keadilan yang harus dijalankan para pemeluknya. Namun, dalam praktiknya, dimensi agama bisa berkembang jauh merasuk dalam urusan duniawi yang begitu dinamis.
Wujudnya sangat beragam. Agama tidak semata-mata menjadi kendaraan untuk meraih keselamatan dan kemaslahatan kehidupan dunia dan akhirat. Isu agama, ternyata juga telah orang-orang tertentu gunakan sebagai prasyarat terpenuhinya seseorang dalam meraih posisi dan jabatan tertentu di dunia kerja.
Dalam kontestasi politik saat pemilihan umum, ada juga yang menjadikan agama sebagai media untuk mendulang dukungan suara. Mereka aktif membangkitkan solidaritas semu para konsituennya. Ada juga yang berupaya memperuncing sentimen karena perbedaan pilihan agama. Hal itu mereka lakukan demi untuk meraih dukungan dan memenangkan kontestasi.
Agama, terkadang juga diajarkan dengan berbagai macam cara. Ada pengajar agama yang gemar mengungkit sejarah perang antar pemeluk agama di masa lalu. Juga sejarah konflik antar pemeluk agama, atau antar pegiat organisasi keagamaan.
Merawat Praktik Baik
Tidak heran, jika ada yang memandang agama seolah sarat dengan kompetisi. Pemeluknya menjadi bersikap curiga, merasa terancam oleh pemeluk agama lain. Bahkan, harus selalu bersiap siaga untuk bertahan atau menyerang. Beragama, seolah identik dengan perang berhadapan dengan mereka yang berbeda dengan dirinya.
Bagi pemeluk agama yang sifat dasar kepribadiannya tertutup, minim pengetahuan dan pergaulan, ajaran agama yang diajarkan dengan cara seperti itu, bisa-bisa akan menyuburkan sikap penuh curiga kepada pemeluk agama lain. Dalam kondisi seperti ini, agama semakin terjauhkan dari citi-cita luhurnya. Yaitu untuk mewujudkan keadaban, keselamatan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Indonesia, yang warganya sangat beragama, memiliki tantangan seperti itu. Peran pemerintah yang kerap menggunakan pendekatan hukum dalam mengatasi tantangan ini saya rasa tidak cukup. Praktik dan pengalaman hidup dalam membangun prinsip kesalingan dalam menjaga kerukunan dan kedamaian telah lama ada.
Bersikap rileks dan terbuka dalam menghadapi perbedaan, juga telah berjalan lama sekali di Komunitas. Praktik baik itu harus terus kita rawat dan kita kembangkan. Untuk itulah, kami terus belajar merayakan perbedaan dengan gembira dan bahagia. []