Mubadalah.id – Langit kelabu menggantung di atas Cirebon, menitikkan hujan rintik-rintik yang membasahi jalan menuju Vihara Dewi Welas Asih Cirebon.
Di kejauhan, kemerahan lampion-lampion bergoyang lembut diterpa angin, seperti tangan-tangan ramah yang mengajakku masuk.
Begitu melewati gerbang vihara, aroma dupa yang hangat langsung menyergap, membelai hidung dengan wangi kayu cendana dan bunga melati. Dentang lonceng kecil berirama syahdu bersahutan dengan gumam doa dari dalam ruangan.
Hari ini, 29 Januari 2025, aku datang untuk menemui Sio, sahabatku yang beragama Konghucu, di Perayaan Imlek 2576 Kongzili.
Sekitar empat tahun lalu, kami bertemu di Pelita Perdamaian Cirebon. Komunitas yang menjadi jembatan bagi anak muda dari berbagai agama untuk berdialog, berbagi, dan merajut persaudaraan.
Aku masih ingat bagaimana Sio menjelaskna filosofi Bai Shen (sembahyang leluhur). Sementara aku membagikan kisah Nabi Muhammad Saw yang menghormati tetangga Yahudi di Madinah.
Dari situ, kami bedua bisa saling memahami bahwa perbedaan bukan tembok, tapi jendela untuk saling mengenal.
“Xīnnián kuàilè, Sio!” sapaku, membuka percakapan dengan ucapan tahun baru Imlek. Matanya yang sipit itu berkeriak bahagia, tangan kanannya mengepal hormat ala Gong Shou sambil tertawa lebar.
“Xiexie, saudariku. Ayo, masuk! Lihat dekorasi yang kami siapkan!” serunya antusias, menarik lengan ku menuju pelataran Vihara.
Deretan Lampion
Di dalam Vihara, suasana Imlek meriah dengan deretan lampion merah menyala berjajar di sepanjang koridor, bertuliskan aksara Tionghoa emas yang bermakna kemakmuran dan umur panjang.
Di altar utama Vihara Dewi Welas Asih, patung Dewi Kwan Im setinggi dua meter duduk bersila dengan senyum penuh welas asih, di kelilingi buah-buahan persembahan: jeruk mandarin berjejal dalam piramida, apel merah mengilap, dan kue keranjang bertumpuk seperti menara emas.
Sementara itu, di sudut lain, sekelompok ibu-ibu sibuk mengatur angpau simbolis yang digantung di pohon bambu mini, sementara anak-anak berlarian dengan kostum naga kertas warna-warni.
Sio mengajakku duduk di paviliun belakang, di depan meja kayu ukir yang telah dihias kain sutra bermotif yun (awan keberuntungan).
“Ini teh Pu Er, umurnya sudah 10 tahun. Cocok untuk menghangatkan tubuh,” katanya. Aku pun tersenyum. “Terima kasih, Sio.”
Percakapan kami pun mengalir, Sio bercerita tentang ajaran “Li Ji Xiang Rang” yaitu pentingnya sopan santun dan saling menghormati kepada mereka yang berbeda. Termasuk kepada aku sebagai Muslim.
Pesan Buya Husein
Kemudian, aku pun membalas dengan pesan KH. Husein Muhammad. Beliau mengatakan “Kita wajib menghargai mereka yang berbeda agama. Karena sejatinya, Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar saling mengenal, bukan saling membenci.”
Tiba-tiba, sorak-sorai pecah dari aula utama. Rupanya, prosesi Liong (tarian naga) sedang dimulai. Kami bergegas menyaksikan. Dua penari gesit menggerakkan boneka naga sepanjang 15 meter, tubuhnya berkilauan sisik emas-merah, mata besar yang berputar-putar penuh semangat.
“Lihat gerakannya!” teriak Sio di antara gemuruh genderang. “Setiap lengkungan tubuh naga ini adalah doa agar tahun ini bumi terhindar dari bencana!”
Saat matahari mulai terik, aku berpamitan kepada Sio. Aku berjalan pulang. Hari ini, aku tak cuma mengucapkan “Selamat Imlek”, tapi juga menyaksikan sendiri bagaimana toleransi itu bukan sekadar kata. Ia hidup dalam secangkir teh dan dalam tawa yang menyambut perbedaan. []