Mubadalah.id – Dalam perkawinan Islam, seluruh hal atas terjadinya perkawinan atau perceraian sepenuhnya ada di tangan lelaki; baik ayah (sebagai wali-walayah) atau suami (peran pelindung-qawam-qawamah). Bangunan hukum keluarga Islam memang patriarki: lelaki dan nilai kelelakian (maskulinitas) menjadi pusat orbit keluarga. Melihat konteks tersebut, bagaimana agar menjadi lelaki ksatria, dengan tidak mengabaikan hak-hak perempuan?
Hal itu berangkat dari asumsi keunggulan lelaki atas perempuan. Namun dalam seluruh narasi tentang relasi lelaki dan perempuan yang digambarkan al-Qur’an, keunggulan menjadi lelaki ksatria itu bukan sesuatu yang permanen atau alamiah/ kodrat dan tanpa syarat dan konsekwensi.
Keunggulan itu karena peluang yang didapatnya secara sosial politik yang lebih besar dibandingkan perempuan (QS An Nisa: 34). Sementara itu, pada perempuan, terdapat keterbatasan akibat tanggung jawab reproduksinya (hamil, melahirkan, menyusui), serta implikasinya secara sosial/ gender (peran pemeliharaan reproduksi sosial di rumah dalam merawat keluarga dan merawat komunitas: lihat Caroline Moser).
Para ahli fiqh tampaknya sadar akan kemungkinan terlemahkannya perempuan sebagai dampak dari penyalahgunaan pengunggulan lelaki ksatria atas perempuan. Namun upaya reformasinya ternyata masih tetap dalam koridor ortodiksi yang berangkat dari teks “lelaki adalah pemimpin atas perempuan” (An-Nisa 34).
Karenanya tawaran perlindungannya bukan dengan memperkuat power si perempuan melainkan dengan menuntut dan memperbanyak beban tanggung jawab kepada lelaki ksatria tadi. Dalam kata lain, bala bantuan dari rumusan fiqh dalam relasi gender ini itu bukan dengan membekali perempuan melakukan tindakan oposisi melainkan menuntut lelaki untuk bersikap ksatria.
Ada sedikit pintu yang dibuka oleh fiqh bagi perempuan untuk melawan demi mendapatkan keadilannya. Misalnya jika keluarga yang dijalaninya tidak membuatnya merasa nyaman dan aman, ia boleh menggugat cerai. Demikian pula jika sang suami meminta cerai padahal si istri tak berbuat salah, si suami diberi hak untuk menceraikan namun ia dibebani kewajibannya membayar “denda” uang penghiburan (muth’ah) bagi istri yang diceraikan.
Di luar itu pihak sebagai lelaki ksatria, suami berkewajiban membayar nafkah iddah (biaya hidup selama masa menunggu 3 bulan untuk memberi waktu pikir-pikir dan untuk mengetahui status rahimnya agar jika dalam keadaan hamil nasab anak menjadi jelas). Sementara kepada anak diberikan uang hadhanah yang dititipkan kepada mantan istrinya jika si anak ada di bawah pengasuhannya.
Untuk nafkah iddah dan hadhanah biasanya cukup mudah dihitung. Pihak Peradilan Agama tahu berapa biaya tiga bulan pengeluaran rumah tangga berdasarkan wawancara. Demikian juga uang hadhanah sampai anak mandiri, minimial 18 tahun. Namun untuk uang muthah itu yang seharusnya dapat ditimbang dengan adil dengan menghitung peran istri selama berkelurga bukan “sawilasana” – seikhlasnya.
Dalam hukum Islam di Indonesia, ada hak yang dapat diperjuangkan istri di pengadilan yaitu harta gono-gini. Biasanya ini dibagi dua sama rata, atau dibagi tiga dengan menghitung hak anak-anak. Akan tapi terkadang satu pasangan tak meninggalkan harta gono-gini yang berarti, bukan mereka miskin tapi karena punya prioritas dalam pembiayaan. Misalnya untuk mengutamakan pendidikan anak atau mengembangkan karier sendiri.
Karenanya muth’ah adalah satu-satunya sumber keuangan bagi mantan istri untuk melanjutkan kehidupannya setelah perceraian. Namun dari pembayaran muth’ah itu kita dapat mengetahui seberapa tinggi mantan suami itu memberi penghargaan bukan semata kepada jasa sang mantan istrinya tetapi penghargaan dan penghormatan kepada DIRINYA SENDIRI!
Disinilah tampaknya hal yang ditekankan oleh Al Qur’an bahwa lelaki ditinggikan derajatnya dari perempuan, bukan dalam kerangka untuk menyatakan mereka unggul secara alamiah tetapi karena peluang yang diperoleh lelaki secara sosial politik dan ekonomi.
Karenanya dalam memberi muth’ah paska perceraian, sikap kaum lelaki ksatria dituntut untuk jujur dan bijaksana. Dalam konteks ini sangatlah penting hakim di Peradilan Agama mempelajari sumbangan sang perempuan yang diceraikan itu dalam mendukung dan membesarkan karier sang suami.
Dalam kata lain seorang hakim harus dapat mendukung sikap lelaki ksatria si mantan suami yang telah diunggulkan oleh Tuhan. Muth’ah jelas bukan sekedar penghiburan untuk beli cendol atau pulsa, tapi benar-benar sebuah cara yang dapat menunjukkan nilai unggul mantan suami. Bayarlah muth’ah mantan istrimu dengan pantas kecuali memang hanya pengen dihargai sebagai ksatria baja hitam! []