Mubadalah.id – Kemarin saya mengalami musibah terpeleset di kamar mandi. Penyebabnya karena lantainya basah, pakaian perempuan yang saya kenakan daster panjang sampai ke mata kaki model abaya, dan pakai sandal hotel tanpa sol yang bergerigi.
Ketika terpeleset keseimbangan saya goyah kesrimpet abaya pula. Bruk!, dan dua jari kaki saya memar menabrak dinding kamar mandi. Untung saja hanya itu. Almarhum mertua saya, mengalami yang lebih parah. Lengannya patah pelipisnya berdarah. Ia kesrimpet pakaian perempuan yang panjang ketika ke luar dari kamar mandi hendak buru-buru ke pasar.
Sering saya mendengar perempuan mengalami kecelakaan karena kesrimpet pakaiannya sendiri. Belakangan lebih sering lagi mendengar perempuan yang mengalami kecelakaan tunggal karena baju panjangnya atau kerudungnya yang menjuntai tergulung roda sepeda motor.
Sebuah studi tentang tsunami dan gender di Sri Lanka menyimpulkan, tsunami berdampak lebih beresiko kepada perempuan karena mereka pakai kain sari dua lapis: bagian bawah yang banyak wiron menjerat kaki ketika berlari, bagian atas penutup dada yang panjang terurai, menutup muka ketika ombak datang bergulung.
Saya belum tahu apakah ada penelitian tentang cara berpakaian perempuan Aceh dan pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan perempuan sebagai korban tsunami. Namun saya ingat cerita seorang hakim peserta pelatihan penguatan kapasitas hakim dalam sensitivitas gender di Banda Aceh. Pada hari itu ketika gelombang ombak naik ke daratan, beliau berusaha mendorong istrinya naik ke atas pohon palem/ kelapa sawit yang berjejer di tepi lapangan bola di tengah kota Banda Aceh.
Ia mengatakan upaya itu nyaris gagal karena dengan pakaian perempuan yang panjang sulit untuk membebaskan tangannya dari baju dan penutup kepalanya. Perempuan tak pernah belajar naik pohon berbatang lurus tanpa cabang seperti pohon kelapa dengan tangan sebelah memegangi baju panjangnya yang melibet kaki.
Mungkin karena itu juga, ketika saya penelitian kurukulum PAUD di Meulaboh- kota paling parah dihantam tsunami di Aceh Barat, saya bertemu seorang guru TK/ PAUD yang mewajibkan murid perempuannya memakai celana panjang bukan rok panjang dan mereka diajari memanjat jaring tali temali.
Seorang HRD pabrik garmen di perbatasan Bogor Sukabumi tidak melarang pekerjanya memakai penutup kepala / jilbab tapi mereka wajib memasukan ekor jilbabnya ke dalam kerah baju. Ini dimaksudkan untuk menghindari kecelakaan kerja akibat ujung jilbabnya keseret mesin jahit yang melaju cepat. Hal serupa pernah saya dengan dari seorang rektor yang ingin memastikan pakaian perempuan bagi mahasiswi dan dosen aman digunakan di laboratorium – apapun dasar alasan penggunaan pakaian itu.
Pakaian secara antropologis mengandung banyak makna. Di dalamnya ada nilai kepantasan, status, kelas sosial, etnisitas, dan nilai keagamaan. Dalam nilai keagamaan terdapat pandangan yang datang dari peran, status yang dikaitkan dengan gender serta konsep politik dan identitas.
Dalam Islam, pakaian perempuan diatur berdasakan konsep aurat mereka di ruang publik. Konsep batas aurat menurut para ahli fiqih sebenarnya tidak tunggal, namun tafsir atas konsep itu kerap kali dikaitkan dengan pandangan bahwa perempuan merupakan sumber fitnah di ruang publik sekaligus sebagai identitas politik yang hendak dihadirkan melalui tubuh, tampilan dan pakaian perempuan.
Ketika revolusi Iran terjadi, semua kaum perempuan yang hadir di ruang publik menggunakan baju panjang serba hitam dengan kerudung melilit kepala dan ujungnya dapat digigit untuk menutup separuh muka mereka. Artinya, konsep pakaian diterjemahkan berdasarkan perkembangan sosial, politik dan waktu.
Di zaman kemerdekaan, pakaian perempuan muslim Indonesia menggunakan kebaya baik sebagai identitas bangsa maupun agama. Karena bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa maka jenis kebaya pun jadi beraneka ragam sesuai dengan tafsir mereka atas identitas suku bangsa Indonesia: Kebaya Jawa Solo, kebaya Yogya, Madura, Betawi, Sunda, Bali, Ambon/Maluku, Minahasa, Makassar, Minang, Batak, Aceh bahkan kebaya Encim peranakan Cina dan seterusnya.
Untuk kepentingan identitas agama, orang memakai kebaya dan mengkombinasikannya dengan beragama jenis kerudung. Namun kini bersama perkembangan zaman dan pengaruh dari pandangan keagamaan yang sangat kuat, cara berpaian perempuan Muslim kita cenderung jadi homogen, minimal dari bentuknya.
Baju panjang dengan ujung bawahnya gangsar sampai menyapu tanah, atau aneka ragam abaya. Kalau dipikir-pikir sejatinya itu merupakan interpretasi desainer dan industri garmen dalam “ menafsirkan” pandangan tentang aurat.
Dalam studi Rumah Kitab di Bandung, Solo Depok, Bekasi dan Jakarta, para pemilik butik dan industri garmen berlomba menciptakan baju dengan identitas keagamaan berdasarkan bacaan mereka atas tren pakaian yang digunakan para “artis Hijrah”.
Lucunya, bersama itu muncul ukuran kesalehan perempuan. Jilbab yang hanya menutup kepala, akan dinilai beda kesalehannya dengan yang hanya sebatas dada atau dengan jilbab yang panjang menutup bokong. Lalu muncullah istilah pasar “ jilbab syar’i. Ini artinya melalui pakaian orang menciptakan “kelas” dengan ukuran “tingkatan kesalehan” dalam berpakaian. Sebuah reduksi kesalehan yang sungguh absurd.
Apapun itu, pada akhirnya, selain menimbang pandangan keagamaan yang ternyata tidak tunggal dan tidak bebas nilai politik identitas. Hal yang terpenting dari pakaian bagi perempuan seharusnya menimbang kenyamanan, kepantasan, dan keamanan. Di dalamnya terkandung cara kita menilai dan menghormati tubuh kita sendiri sebagai anugerah terindah dari Allah; sumber fitnahkah tubuh perempuan? Buat saya, bukan! []