Mubadalah.id – Mewujudkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas berarti membuka kesempatan yang sama, menghargai kemampuan, dan menghapus pandangan diskriminatif. Realitanya dalam masyarakat, kesetaraan bagi penyandang disabilitas masih belum sepenuhnya terwujud.
Kasus pengusiran secara tidak manusiawi terhadap pengamen tunanetra di Medan pada 13 Juni 2025 menjadi salah satu sorotan serius dari Komisi Nasional Disabilitas (KND). Dalam insiden ini, Heri Sandarman Hulu, seorang pengamen tunanetra, terjaring razia dan mengalami tindakan tidak manusiawi saat mengamen di depan sebuah toko roti.
Komisioner KND Kikin Tarigan menyatakan tindakan berlebih dan tidak manusiawi dapat merusak citra keberpihakan pemerintah kepada penyandang disabilitas. Kasus tersebut jelas menunjukkan bahwa kesetaraan bagi penyandang disabilitas masih belum tercapai sepenuhnya di Indonesia.
Kasus ini membuktikan bahwa walaupun pemerintah sudah memiliki komitmen dan aturan untuk mendukung hak dan perlakuan yang adil bagi penyandang disabilitas, kenyataannya masih ada perlakuan diskriminatif dan tindakan yang merendahkan martabat mereka di lapangan.
Perubahan Sikap Sosial
Situasi ini menjadi pengingat bahwa kesetaraan bagi penyandang disabilitas harus diwujudkan bukan hanya melalui kebijakan, tetapi juga melalui perubahan sikap sosial.
Banyak orang masih memandang mereka sebagai kelompok yang “berbeda” atau bahkan tidak mampu. Pandangan seperti itu secara tidak sadar menciptakan jarak sosial dan memperkuat anggapan yang keliru.
Padahal, di balik keterbatasan yang tampak. Penyandang disabilitas memiliki kemampuan, semangat, dan potensi besar untuk berkontribusi dalam berbagai bidang kehidupan. Sikap sosial yang inkusif dan menghargai keberagaman sangat penting dalam mewujudkan kesetaraan.
Pemerintah Indonesia menjamin kesetaraan bagi penyandang disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini menegaskan bahwa negara wajib melindungi dan memenuhi hak setiap warga negara. Termasuk penyandang disabilitas, untuk hidup maju dan berkembang secara adil serta bermartabat.
Aturan ini menunjukkan bahwa negara berkomitmen untuk menciptakan kesetaraan bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari penghormatan terhadap nilai kemanusiaan. Komitmen ini juga harus diikuti oleh perubahan sikap sosial yang ada dilingkungan sekitar.
Bukan Soal Bentuk Belas Kasihan
Menyadari bahwa nilai kemanusiaan tidak harus kita ukur dari kondisi fisik atau kemampuan seseorang, melainkan dari keberadaannya sebagai manusia. Kesetaraan bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan pengakuan bahwa setiap orang memiliki potensi dan hak yang sama untuk mendapat pengakuan dan berpartisipasi. Mengasihani penyandang disabilitas hanya memperkuat jarak antara “kita” dan “mereka.”
Setiap individu bisa mewujudkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas melalui tindakan sederhana. Kita dapat memperlakukan penyandang disabilitas sebagaimana kita ingin mereka perlakukan dan memberi mereka ruang untuk berpendapat. Serta menghargai kemampuan mereka tanpa perbandingan.
Ketika kita bersikap terbuka dan saling menghormati, kita membantu membangun masyarakat inklusif yang menegaskan bahwa setiap manusia sama berharganya di mata Tuhan dan sesama.
Kini, tugas kita bersama adalah menjunjung tinggi nilai itu. Kita semua memegang tanggung jawab untuk menjunjung tinggi nilai kesetaraan. Upaya ini bukan hanya kewajiban pemerintah, tetapi juga panggilan kemanusiaan bagi setiap individu.
Mari kita belajar untuk lebih peka, lebih menghargai, dan lebih terbuka terhadap perbedaan. Karena dalam prinsip Mubadalah, mendorong kita untuk memperlakukan setiap manusia dengan cara pandang kasih sayang, tidak membedakan orang lain, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
Dengan memahami prinsip ini, kita dapat menegakkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas tidak hanya sebagai kewajiban sosial dan hukum. Tetapi juga sebagai wujud nyata dari nilai-nilai keislaman yang menebarkan kasih, keadilan, dan kemanusiaan. []











































