Mubadalah.id – Jika kita hitung sejak 7 Oktober 2023 hingga sekarang, maka serangan Israel terhadap wilayah Gaza telah berlangsung kurang lebih 1 (satu) tahun 7 (tujuh) bulan lebih lamanya. Mengutip Kementrian Kesehatan di Gaza sebagaimana Tempo beritakan, setidaknya 52.243 orang telah tewas akibat serangan Israel sejak Oktober 2023.
Dahulu mungkin kita membaca peristiwa pembunuhan, pembantaian hingga pendudukan palestina oleh Israel dari buku-buku sejarah. Peristiwa seperti pembataian Desa Dayr Yasin, pembakaran Haifa serta berbagai rentetan kekerasan lainnya kini tidak lagi sekadar hadir dalam buku-buku.
Kini melalui media sosial kita dapat melihat video penderitaan para pengungsi Palestina dan video kehidupan waga di area tepi barat (west bank) yang kerap mengalami kekerasan dari tentara Israel. Melalui media sosial kita tidak hanya membaca narasi, namun seakan melihat langsung penderitaan yang warga Palestina alami akibat tindakan Israel.
Seluruh penderitaan warga Palestina nampaknya tidak dapat kita lepaskan dari narasi mitos pendirian Israel. Narasi-narasi tersebut terus berkembang menjadi dasar pembenar untuk melakukan banyak kekerasan terhadap warga Palestina. Ilan Pape menyebut sejumlah narasi tersebut sebagai mitos-mitos Israel (myths about Israel).
Mitos Israel
Dalam buku yang berjudul Ten Myths About Israel, Ilan menjelaskan salah satu narasi utama yang sering terdengar dan mereka gaungkan sebagai pembenar pendirian negara Israel. Keberadaan Israel sendiri di tanah Palestina ialah mitos bahwa sebelum kedatangan Israel, Palestina merupakan tanah kosong, tandus dan tidak terawat (Barren, deforestation increased and farmland turned to desert).
Kedatangan para pengungsi Yahudi yang membuat tanah tersebut kembali subur dan dapat terkelola kembali. Nampaknya hal ini yang membuat kita sering mendengar narasi land without people for people without land.
Ilan kemudian menegaskan bahwa narasi tersebut jelas merupakan karangan belaka. Sejumlah sarjana Israel seperti David Grossman, Amnon Cohen dan Yehoushua Ben-Arieh juga meragukan validitas atas narasi tersebut.
Sebelum kedatangan pengungsi Yahudi, Palestina merupakan wilayah yang kaya dan subur, bahkan berkembang dengan pesat. Pelabuhan di Paestina merupakan titik penting yang menghubungkan perdagangan wilayah ini dengan Eropa. Sebelum kedatangan para zionist, industri agrikultur dan kota-kota telah sangat hidup dan terhuni tidak kurang dari setengah juta penduduk.
Amy Dockster Marcus dalam buku Jerussalem: 1913 mencatat, sebelum akhir masa kekuasaan kekaisaran Ottoman, kehidupan antar umat beragama di Palestina kala itu juga berjalan relatif damai. Sebelum kedatangan pengungsi Yahudi, telah terdapat kelompok masyarakat Yahudi yang hidup di Palestina. Bahkan adalah hal yang biasa untuk seorang muslim bekerja di tanah milik seorang Yahudi.
Jika terdapat orang muslim yang kembali setelah berziarah ke Mekkah, tetangga-tetangga Yahudi datang untuk memberikan selamat. Umat Yahudi, Kristen dan Muslim juga terbiasa merayakan hari-hari besar bersama. Justru salah satu pemicu rusaknya hubungan damai di antara komunitas-komunitas tersebut ialah adanya gelombang besar imigran Yahudi. Selain itu ada upaya dari sekelompok Yahudi untuk menguasai sebagian besar tanah di Palestina.
Settler Colonialism
Gesekan antara imigran Yahudi dan penduduk asli Palestina di kala itu tidak dapat terlepaskan dari paham zionisme yang tengah berkembang. Zionisme sendiri seringkali mereka klaim sebagai paham bahwa penduduk Yahudi membutuhkan atau berhak atas satu negeri sendiri sebagai kampung halamannya. Salah satu permasalahan utama dari paham ini ialah pendirian negara tersebut terbangun di atas tanah yang telah memiliki penduduk.
Ilan Pape menyebut paham zionisme sebagai satu bentuk gerakan kolonialisasi atau yang Ia sebut dengan settler colonialism. Bila kolonialisasi klasik bertujuan untuk mengeruk sumber daya di wilayah koloni, maka settler colonialism bertujuan untuk mengambil alih suatu wilayah dari penduduk aslinya. Hal ini nampak dari terbangunnya berbagai justifikasi moral oleh Israel untuk menduduki wilayah dan tanah milik penduduk asli Palestina.
Settler colonialism bahkan juga mengembangkan logika untuk dehumanisasi (logic of dehumanization) penduduk setempat. Hal ini nampak pada penggunaan sejumlah ayat Bible untuk menjustifikasi tindak kekerasan terhadap penduduk asli Palestina.
Penamaan sejumlah desa maupun kota oleh pemerintah Israel tidak jarang mereka klaim atas dasar bahwa lokasi tersebut-berdasarkan Bible-dahulu merupakan pemukiman Yahudi. Karenanya, Israel mengklaim, perampasan atau pendudukan desa tersebut bukanlah suatu bentuk penjajahan, melainkan suatu bentuk pembebasan (Their appropriation was not an occupation but a liberation).
Narasi serupa bahkan dapat kita dengar dalam konflik terbaru. Istilah amalekites (musuh bebuyutan Israel dalam Bible) sempat pemerintah Israel gunakan untuk menjustifikasi berbagai tindak kekerasan terhadap warga Palestina. Menurut Ilan Pape, istilah amalekites terkadang tidak hanya merujuk pada warga Palestina, namun juga kepada mereka yang dianggap “belum cukup/sempurna” menjadi seorang Yahudi.
Kepergian Sukarela
Klaim mitos Israel lain yang diajukan sebagai dasar pembenar pendudukan Israel di Palestina ialah sikap warga Palestina yang dengan sukarela pergi meninggalkan tempat tinggalnya. Kepergian mereka diklaim disebabkan himbauan dari para penguasa Arab di kala itu yang ingin memerangi Israel. Penduduk Palestina dijanjikan akan kembali lagi setelah Israel dikalahkan.
Penelitian Ilan Pape menunjukkan bahwa kepergian warga Palestina dari tempat tinggalnya bukan karena seruan para pemimpin Arab. Menurut Ilan, bahkan tidak terbukti ada himbauan dari para pemimpin Arab kepada warga Palestina untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Kepergian ini justru disebabkan tindak kekerasan yang Israel insiasi untuk mengintimidasi dan menciptakan ketakutan kepada warga.
Pembantaian Desa Dayr Yasin yang mengakibatkan 250 korban pria, wanita dan anak-anak misalnya, dengan sengaja diumumkan ke wilayah pemukiman Arab dan menjadi propaganda agar warga pergi meninggalkan tempat tinggalnya. Charles D. Smith mencatat, desa-desa yang warga tinggalkan inilah kemudian menjadi pemukiman baru bagi penduduk Israel. Klaim bahwa warga pergi dengan sukarela tidak lebih dari mitos Israel belaka.
Jangan Lupakan Palestina
Ada banyak kekecewaan terhadap sikap para pemimpin dunia atas konflik Israel-Palestina. Negara-negara yang selalu menyatakan diri sebagai pembela Hak Asasi Manusia terlihat seakan membiarkan kekejaman demi kekejaman terus terjadi dalam konflik ini. Sementara puluhan ribu nyawa telah hilang, rumah, universitas dan tempat ibadah telah runtuh, dunia masih saja ragu untuk menghentikan kekerasan Israel.
Tidak heran jika banyak orang yang telah frustasi dengan kondisi saat ini. Selayaknya manusia biasa, suka tidak suka kita harus menerima keterbatasan tersebut sembari terus mengupayakan hal yang bisa kita lakukan. Dalam satu hadis masyhur, dinyatakan bahwa kemunkaran harus kita ubah dengan tangan/kekuasaan (bil yad), atau dengan lisan, atau setidak-tidaknya dengan mengingkarinya dalam hati.
Dengan segala keterbatasan sebagai rakyat biasa, kemungkaran yang Israel lakukan setidak-tidaknya harus kita lawan dengan melakukan boikot, protes dan dengan tidak membenarkan segala kekerasan yang Israel lakukan terhadap warga Palestina. []