Hari Ibu adalah momentum bagi kita semua, laki-laki dan perempuan, untuk mengingat peran dan jasa seorang ibu, yang melahirkan dan membesarkan kita. Semua kita, siapapun kita, pasti lahir dari rahim seorang ibu. Sekalipun, tidak semua kita bisa menjadi ibu yang melahirkan seorang anak.
Tentu tidak sekadar mengingat secara kognitif terhadap peran reproduksi tersebut, tetapi ingatan yang berbuah pada tindakan kongkrit untuk memastikan perempuan, yang memiliki peran reproduksi berbeda dari laki-laki, memperoleh kenyamanan dan tidak mengalami kekerasan, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun politik.
Mengingat, sadar, dan melakukan tindakan kongkrit ini yang disebut al-Qur’an sebagai “ihsaan” (QS. Al-Ahqaf, 46: 15) atau kebaikan yang paripurna, kepada kedua orang tua, terutama ibu yang mengandung (hamluhu) dan menyusui (fishaluhu). Kesadaran yang kongkrit ini, biasa disebut KH Helmi Ali sebagai “empati”. Jika simpati itu masih bersifat pasif, maka empati sudah harus aktif dan kongkrit.
Empati itu yang menggerakan kita, terutama laki-laki, menjadi seseorang yang peduli pada kenyamanan perempuan ketika menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui untuk memiliki waktu istirahat dan gizi yang cukup, ruang gerak yang leluasa, kebijakan yang mendukung, dan budaya yang apresiatif. Suami siaga dan desa siaga adalah salah satu dari bentuk “empati” ini.
Dalam sebuah refleksi hari ibu bersama para pengurus MUI Kabupaten Kudus, termasuk ketuanya, Dr. KH. Hamdani M.Ag., Kamis, 19 Desember 2019, saya menawarkan singkatan untuk memudahkan kita semua menumbuhkan fiqh empati pada peran reproduksi perempuan. Refleksi ini merupakan tafsiran yang reflektif terhadap dua ayat utama mengenai peran ibu, ayat Luqman (31: 14) dan al-Ahqaf (46: 15).
Singkatan itu beruapa M4I (M-empat-I, tetapi baca: empati). M4 adalah peran-peran reproduksi perempuan yang bersifat biologis, yang tidak dialami laki-laki. Yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Sementara “I” adalah awal hurus dari kata “Ihsan” yang menjadi sikap dasar yang diajarkan al-Qur’an terhadap perempuan yang memiliki empat peran tersebut. Jika dibaca dalam satu tarikan adalah “fiqh empati”, sebuah ungkapan yang mewakili ingatan, kesadaran, dan tindakan kongkrit di atas.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Kami wasiatkan kepada manusia (agar selalu berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, (karena) ibunya telah mengandungnya dengan penuh kesusahan, ditambah menyusuinya selama dua tahun (yang juga penuh kesusahan). Bersyukurlah kepada-Ku, dan kedua orang tuamu, dan kepada-Ku lah, (semua akan) kembali”. (QS. Luqman, 31: 14).
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“Kami wasiatkan kepada manusia agar selalu berbuat baik kepada kedua orang tuanya, (karena) ibunya telah mengandungnya dengan penuh kesusahan, melahirkannya juga dengan penuh kesusahan. (Jika dihitung), mengandung sampai habis menyusui itu adalah tiga bulan lamanya”. (QS. Al-Ahqaf, 46: 15).
Jika dibaca secara seksama, kedua ayat ini sudah mengajarkan prinsip dan nilai mubadalah, atau kesalingan. Bahwa sekalipun yang disebutkan secara eksplisit dalam ayat hanya peran reproduksi ibu (mengandung, melahirkan, dan menyusui), tetapi yang wajib disyukuri adalah kedua orangtua, ayah dan ibu. Ini tentu saja tidak gratis, tetapi untuk ayah yang siaga dan empati pada peran reproduksi perempuan.
Sebagaimana ibu yang mengalami kesusahan (wahnan dan kurhan) ketika mengandung, melahirkan, dan menyusui, maka seorang ayah juga harus terlibat aktif dalam peran-peran yang penuh “kesusahan-kesusahan”, dengan mendukung, menemani, mendampingin, melayani, dan memberikan kenyamanan yang diperlukan.
Demikianlah fiqh M4I (empati) hasil refleksi hari ibu bersama para pengurus MUI Kabupaten Kudus, yang sebagian dari mereka, hadir bersama pasangan masing-masing. Wallahu a’lam bish-shawab.[]