Mubadalah.id – Tidak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil kita hindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan tak aman, dan sebagainya.
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya: Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).
Dalam tafsir Jalalain dijelaskan, ayat tersebut bermakna bahwa pencipta segala yang berpasangan adalah satu, yakni Allah Swt, maka sembahlah Allah (Jalaluddin, 377). Artinya, di balik keberpasangan setiap kondisi tersebut, ada dzat tunggal yang perlu disadari. Allah SWT adalah satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.
Bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah, maka Allah berhak mau menjadikannya seperti apa. Bahkan seandainya seluruhnya diluluhlantahkan-Nya, maka manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Konteksnya dalam menghadapi musibah, seperti adanya wabah corona atau Covid-19 yang menghantam kita 2 tahun lamanya. Kita tidak perlu takut berlebih-lebihan, karena yang harus lebih kita takuti hanya Allah.
Namun sebaliknya kita tidak boleh sombong, karena yang pantas dan berhak untuk menyombongkan diri itu hanya Allah SWT, namun kita sebagai hamba-Nya wajib berikhtiyar, seperti menghindar atau menjauhi dari tempat kemungkinan berkembangnya penyakit, dan mematuhi protokol kesehatan yang telah ditentukan, setelah berbagai syariat kita lakukan barulah berwakkal kepada Allah.
Manusia harus Bermuhasabah
Namun demikian, manusia juga harus bermuhasabah (introspeksi). Apakah musibah yang menimpanya merupakan bentuk ujian, peringatan, berupa azab Allah atau yang lainnya. Sehingga, manusia lebih berhati-hati dalam menjaga amanah alam ini. Imam Jalaluddin dalam Tafsir Jalalain menjelaskan lafal بما كسبت أيدي الناس (karena perbuatan manusia) dengan arti من المعاصي yang berarti “karena maksiat”.
Artinya bahwa kerusakan di bumi ataupun di langit timbul karena ulah manusia. Persisnya sebab dosa atau kemaksiatan yang mereka lakukan. Baik itu dosa berbentuk pelanggaran atas norma “halal-haram”. Maupun berupa dosa yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan. Hal itu dapat berimplikasi pada kerusakan alam secara tidak langsung. Begitupula mengurangi keseimbangan alam pada hari ini, dan masa-masa yang akan datang.
Orang yang berilmu dan beriman akan menjadikan musibah sebagai momentum meningkatkan kebaikan. Baik kebaikan itu tertuju kepada Allah maupun makhluk itu sendiri. Rasulullah Saw:
من يرد الله به خيرا يصب منه (رواه البخاري)
Artinya: barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Allah akan memberikan musibah (HR. Bukhari)
Segala musibah yang menimpa menjadi alat untuk berdzikir dan muhasabah diri, sehingga manusia dapat mengambil sisi positif terutama dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Saw. Bukan sebaliknya: saling menghujat, saling menyalahkan antar sesama, rakyat dengan pemerintahnya, atasan dengan bawahannya, dan sebagainya. Namun benar-benar menjadikan musibah sebagai pembenahan terhadap diri dan lingkungan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, solid, aman, dan tenteram.
Musibab bisa Memicu Al Mahabbah
Sebagaimana kisah Rabiah Al-Adawiyah yang selama hidupnya mengalami kesulitan demi kesulitan, dengan dasar iman mana diraihlah al-Ahwal al-Hubb (kecintaan kepada Nya tiada tara). Hal ini membuktikan bahwa di setiap musibah atau kesulitan ada kebaikan yang Allah selipkan di dalamnya. Hanya orang-orang yang sadar dan sabarlah yang akan meraih kebaikan tersebut.
Dengan bahasa lain, musibah pun bisa memicu al-Mahabbah (rasa cinta). Selain dari kebaikan yang bersifat relatif, kesabaran dalam menerima musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa-dosa. Rasulullah Saw bersabda:
ما يصيب المؤمن من نصب ولانصب ولاهم ولاحزن حتى الشوكة يشاقها إلا كفر الله بها من خطاياه (رواه البخاري)
Artinya: tidak ada yang menimpa seseorang mukmin dari kelelahan, penyakit, kesusahan, kesedihan, hingga duri yang menusuk tubuhnya, kecuali Allah menghapus kesalahan-kesalahannya. (HR. Bukhari)
Dalam konteks ini hal yang paling ditekankan adalah kesabaran menghadapinya. Memang, di kalangan ulama’ berbeda pendapat apakah kesabaran atau musibah itu sendiri yang menyebabkan terhapusnya dosa-dosa. Menurut Syekh Izuddin bin Salam sebagaimana penjelasannya dalam kitab Irsyadul Ibad, sesungguhnya musibah yang menimpa orang mukmin tidak mengandung pahala. Sebab musibah bukanlah atas usahanya.
Akan tetapi pahala itu terletak pada kesabaran atas musibah tersebut. Namun, pada penjelasan berikutnya Syekh Izuddin bin Salam mengatakan bahwa musibah adalah pelebur dosa sekalipun orang mukmin yang ditimpanya tidak sabar. Sebab tidak ada syarat bagi pelebur dosa untuk diusahakan oleh seorang mukmin.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa apapun bentuknya musibah untuk makhluknya hakikatnya pasti memiliki makna dan maksud yang tersirat bagi penerimanya. Yang terpenting bagaimana musibah itu dapat kita sikapi dengan sabar atau ingkar. Dengan demikian, musibah adalah sarana untuk mengingat sang pemberi musibah, upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan. Hingga pada akhirnya menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah setelah merasakan kenikmatan di balik musibah yang menimpanya. Maha suci Allah yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk makhluk-Nya. Wallahu A’lam. []