Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan ulama KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) tentang konsep nafkah, maka ulama KUPI menilai bahwa konsep nafkah masa kini sudah semakin luas. Mereka cenderung melihat nafkah lahir maupun batin, sebagai tanggung jawab bersama antara suami-istri.
Nafkah harta, diwajibkan kepada suami terhadap istri, sekalipun dalam kondisi tertentu, istri juga diminta berkontribusi. Dalam konteks ini, sering dijelaskan bahwa kebutuhan terbesar laki-laki adalah seks. Sementara kebutuhan terbesar perempuan adalah perlindungan melalui nafkah materi.
Terutama, ketika perempuan harus melalui fase-fase reproduksi, menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui, dan membesarkan anak, yang menuntut energi khusus. Sementara, laki-laki tidak memiliki halangan reproduksi apa pun untuk bekerja menghasilkan harta bagi pemenuhan kebutuhan keluarga. Sehingga, laki-laki dituntut memberi nafkah, sementara perempuan tidak.
Dalam konteks ini, QS. an-Nisaa’ [4]: 34 itu menjadi sangat relevan. Bahwa laki-laki/suami diberi mandat tanggung jawab (qawwam) menafkahi perempuan/istri.
Tentu saja, hal demikian tidak berlaku secara mutlak. Sebab, juga ada banyak kondisi, terutama saat sekarang, di mana perempuan mampu bekerja sama persis dengan laki-laki. Bahkan bisa jadi menghasilkan harta yang lebih banyak.
Di sisi lain, perempuan juga sebagai manusia memiliki kebutuhan seks yang harus terpenuhi sebagaimana laki-laki. Sekalipun intensitas dan ekspresinya bisa jadi berbeda, lebih rendah dari laki-laki, tetapi bisa juga sama untuk kalangan perempuan tertentu, atau bisa juga lebih tinggi.
Untuk itu, fiqh melengkapi adagium “kewajiban nafkah oleh laki-laki dan seks oleh perempuan” (al-nafaqah fi muqabalat al-budh’) dengan rumusan normatif prinsip relasi mu’asyarah bil ma’ruf, saling berbuat baik antara suami/laki-laki dan istri/perempuan.
Prinsip ini membuka fleksibilitas adagium tersebut, sehingga perempuan juga bisa berkontribusi dalam hal nafkah. Sebagaimana laki-laki juga dalam memenuhi kebutuhan seks perempuan.
Perspektif Mubadalah
Dalam perspektif mubadalah, dengan merujuk pada lima pilar pernikahan, baik nafkah maupun seks adalah hak dan sekaligus kewajiban bersama. Dengan pilar zawaj dan mu’asyarah bil ma’ruf, di mana segala kebutuhan keluarga menjadi tanggung jawab bersama suami-istri, maka nafkah pun menjadi kewajiban bersama.
Harta yang dihasilkan mereka berdua, atau salah satunya, adalah milik bersama. Suami tidak boleh memonopoli dengan menguasai seluruh harta yang dihasilkannya atau oleh istrinya, begitu pun istri tidak boleh memonopoli harta yang dihasilkannya atau oleh suaminya.
Dengan perspektif mubadalah ini, ayat-ayat yang berbicara mengenai pencarian rezeki dan nafkah sudah seharusnya kepada laki-laki dan perempuan. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan, Islam anjurkan untuk bekerja mencari rezeki. Terutama dalam memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga mereka.
Sekalipun secara bahasa Arab, ayat-ayat itu untuk laki-laki, tetapi sebagaimana ayat-ayat lain, ayat dengan bentuk laki-laki juga berlaku bagi perempuan. Sehingga, tidak ada alasan memberlakukan ayat-ayat rezeki dan nafkah hanya untuk laki-laki semata. []