Mubadalah.id – “Lala! Selamat ya! Kamu masuk event KUPI” pagi-pagi sekali aku melihat notifikasi media sosial di layar ponsel dari seorang rekan dari komunitas Puan Menulis. Senyumku sumringah melihat ucapan selamat berdatangan. Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur dan berbinar. Rupanya, doa-doa yang kurapalkan di beberapa malam terakhir dikabulkan-Nya. Alhamdulillah ‘alaa kulli hal.
Event yang diselenggarakan oleh Madrasah Creator by KUPI Media Ecosystem memberikanku kesempatan untuk mengikuti Beasiswa Menulis Menjadi Storyteller. Beasiswa tersebut merupakan fasilitas untuk siapa saja yang menekuni bidang menulis khususnya dalam ekosistem media Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
757 Pendaftar Beasiswa Menulis Menjadi Storyteller
Pertama kali mengisi aplikasi beasiswa, sempat aku merasa sangat optimis untuk menjadi salah satu peserta Madrasah Creator KUPI. bagiku, ada banyak tanda baik yang aku rasakan saat mendaftar. Tapi, beberapa hari setelah pendaftaran, aku terkejut dengan banyaknya pendaftar sebesar 757 pendaftar.
Hari itu rasanya lemas, tentu aku memahami lebih banyak penulis yang lebih baik karyanya daripada aku. Hari itu juga, aku merasa untuk tidak banyak berharap. Aku melepaskan segala ekspektasi. Aku siap jika memang beasiswa tersebut kali ini tidak berpihak padaku.
Salah seorang dosen laki-laki yang aku kenal dengan sangat baik menghubungiku. Kami banyak berbagi cerita tentang pendaftaran beasiswa ini. Ia banyak berbagi pesan tentang bagaimana motivation letter yang ia buat untuk mengikuti beasiswa menulis KUPI. Sempat aku terperangah takjub bagaimana ia mengelaborasi sebuah alasan yang sangat masuk akal.
Terlebih, niatnya untuk mendokumentasikan para ulama perempuan di daerahnya juga tidak main-main. Saat itu aku sadar, tulisan aplikasiku tidak memuat apa yang ia ceritakan. Rasanya, gagal sudah diri ini untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Doa demi doa aku rapalkan, setiap pagi, siang, sore, dan malamku selalu kuslipkan doa agar Sang Maha Penentu memberikan aku kesempatan. Jika tidak mendapatkan kesempatan pun, aku tetap akan bersyukur dan menikmati apa yang saat ini aku punya.
Saat pengumuman Madrasah Creator KUPI tiba, aku sangat bersyukur dan antusias. Apa yang kudapatkan bukanlah hasil karena kerja keras dan rapalan doaku. Melainkan rahmat dan kebaikan Allah yang menganugerahiku. Masyaa Allah, aku berhasil menjadi 21 penulis terpilih dari 757 penulis yang terdaftar.
Berjumpa Sang Maestro: Andreas Harsono
Di depan layar tablet, aku terperangah. Diam berkedip mendengarkan seksama tentang bagaimana sang Maestro mengolah kata. Bukan, ini bukan sesuatu yang puitis. Tapi, kata-katanya seolah hidup dengan beberapa kali mengiris urat nadi. Rasanya teduh sekali memandang wajah beliau. Beliau Bapak Andreas Harsono.
Andreas Harsono merupakan jurnalis, penulis, dan peneliti hak asasi manusia asal Indonesia yang terkenal luas karena kiprahnya dalam advokasi kebebasan pers dan isu HAM. Lahir di Jember pada 7 Agustus 1965, ia memulai karier jurnalistik dengan meliput untuk media internasional sebelum kemudian turut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pantau Foundation, lembaga yang berfokus pada pelatihan jurnalisme.
Sejak 2008, beliau menjadi peneliti Human Rights Watch dengan fokus pada kebebasan beragama, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Harsono telah menulis sejumlah buku penting seperti Jurnalisme Sastrawi dan Race, Islam and Power, yang memperkuat reputasinya sebagai salah satu pengamat sosial-politik paling berpengaruh di Indonesia.
Dalam kesempatan workshop Madrasah Creator KUPI kali ini, para penulis mendapatkan sesi untuk belajar teknik menulis feature dengan gaya storytelling. Sesi perjumpaan kali ini disambut antusias oleh para penulis. Terlebih, banyak penulis yang berkesempatan untuk membacakan materi yang dibawa oleh beliau.
Selain teknik cara menulis feature, kami juga banyak belajar mengenai 9 elemen jurnalisme. Beliau berpendapat bahwa menjadi netral bukanlah prinsip jurnalisme. prinsipnya dalam jurnalisme harus bersikap independen daripada netralitas.
Jujur, aku banyak belajar pada sesi beliau. Terutama untuk aku yang tidak banyak terjun ke dalam penulisan fiksi, tentu dengan adanya beliau memberikanku begitu banyak pandangan tentang teknik menulis yang satu ini. Dari beliaulah, aku mencoba membuka niat, minat, dan potensiku untuk menulis hal-hal yang menurutku di luar kemampuanku.
Berjumpa dengan Sang Ulama’ Perempuan: Bu Nyai Luluk Farida Muchtar
Sehari setelah pertemuan kedua mentoring penulis Madrasah Creator KUPI, aku mengunjungi kediaman Bu Nyai Luluk Farida Muchtar. Kebetulan, dalam beasiswa menulis ini aku mendapatkan kesempatan untuk mengabadikan kisah Bu Nyai Luluk.
Bu Nyai Luluk Farida Muchtar merupakan seorang ulama perempuan KUPI dan pendakwah yang aktif memperkuat peran perempuan dalam ruang keagamaan serta pemberdayaan masyarakat. Ia dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Majlis Ta’lim “Rahmah” di Malang, tempat beliau membina jamaah melalui kajian-kajian kitab kuning dan diskusi keislaman.
Dalam wawancara dengan beliau, aku banyak belajar tentang perjuangan beliau mengadvokasi hak-hak perempuan. Terutama dengan narasi-narasi Keislaman yang ramah terhadap perempuan. Di samping itu juga, beliau banyak sekali menyebut mengapa perempuan perlu mandiri dan berdikari.
Ah, rasanya tidak semua hal perlu kuungkap sekarang. Biarlah kisah lengkap tentang perjalanan intelektual dan pengabdian beliau kita nikmati bersama saat peluncuran buku pada halaqah kubra nanti. Di sana, kita bisa meresapi jejak langkah beliau lengkap dengan detail-detail yang akan membuat kita semakin memahami betapa besar kontribusi seorang ulama perempuan seperti Bu Nyai Luluk bagi kehidupan sosial-keagamaan terutama terhadap hak-hak perempuan.
Dinginnya Kaliurang Jogja, Hangatnya Kebersamaan Para Penulis
Segala alat tempur yang telah kusiapkan kini telah tiba di Jogja. Entah kenapa aku lebih suka menyebut Jogja daripada Yogyakarta. Ah, tidak apa-apa yaa, kedepannya aku akan menulis lebih banyak kata “Jogja” di sini.
Malam jam dua pagi, keretaku baru tiba di Stasiun Yogyakarta. Aku dan seorang penulis lainnya yang juga dari Malang bersiap menunggu jemputan taksi daring untuk mengantarkan kami ke Griya Gusdurian di daerah Banguntapan. Sesampainya di sana, kami disambut hangat oleh penulis-penulis lain yang baru sampai. Kami menginap sehari sebelum datang ke lokasi event kami berada.
Saat di sana, tentu aku banyak berjumpa dengan teman-teman sesama penulis KUPI yang menurutku punya latar belakang bidang yang sangat hebat. Entah mereka seorang dosen, peneliti, pernah berkuliah di Mesir, dan masih banyak lainnya. Aku sempat minder, namun aku sangat bersyukur berada pada lingkungan yang sangat baik di tengah-tengah mereka.
Hari pertama, kami tiba di Oemah Petroek. Sebuah villa di kaki gunung Merapi yang sangat sejuk dan mendamaikan hati. Lokasi yang dipilih sangat istimewa, selain dingin dan asri, lokasinya memiliki banyak rumah ibadah dan museum yang dapat kami kunjungi.
Hari kedua, sebelum sesi-sesi padat dimulai, kami menyempatkan diri berjalan-jalan pagi menyusuri jalur kecil di kaki Gunung Merapi. Bagiku, jalan pagi ini sangat menyenangkan. Aku bisa merasakan nikmatnya well-being hidupku dengan ekosistem yang sehat dan menyegarkan. Sangat membantuku untuk tetap dapat menulis dengan baik.
Di hari ketiga, kami telah siap dengan tulisan kami. Selama tiga hari kami menulis dan mengolah kata, selama itu pula kami memiliki banyak kenangan dengan para penulis lain dan juga para mentor. Hari ketiga menjadi sesi refleksi kami dalam menulis feature para ulama’ perempuan.
Pada sesi ini, kami meninjau kembali struktur, keakuratan data, serta kualitas narasi dalam penulisan feature mengenai ulama perempuan KUPI. Pendekatan reflektif tersebut berhasil mendorong masing-masing penulis untuk menulis lebih tajam.
Penulis-penulis Assabiquunal Awwalun
Salah satu hal yang paling membahagiakan bagi kami adalah saat mengetahui bahwa kami terpilih sebagai angkatan pertama dalam program beasiswa menulis tersebut. Predikat sebagai peserta awal memberi rasa haru tersendiri karena kami menjadi bagian dari fondasi awal ekosistem penulisan yang sedang KUPI bangun melalui jaringan media yang terus berkembang. Para mentor dalam candaan mereka menyebut diri kami sebagai penulis-penulis assābiqunal awwalūn.
Kami pun berharap kegiatan serupa berlanjut pada tahun-tahun mendatang sehingga semakin banyak penulis muda yang dapat memberi kontribusi bagi produksi pengetahuan yang berpihak pada kemanusiaan. Sehingga, ekosistem media KUPI dapat berkembang lebih luas yang mampu menghadirkan narasi tentang pengalaman perempuan dan nilai keadilan.
Sampai Jumpa di Halaqoh Kubro KUPI!
Tulisan dari 21 penulis akan dibukukan dan dilaunching dalam Halaqah Kubra KUPI yang akan diselenggarakan di Jogja pada 12–14 Desember 2025. Halaqah Kubra tersebut merupakan forum strategis yang dirancang untuk memperkuat arah gerakan keulamaan perempuan di Indonesia.
Kegiatan di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu akan menghadirkan lebih dari lima ratus peserta yang berasal dari kalangan ulama perempuan, akademisi, peneliti, aktivis, serta jejaring komunitas dari berbagai daerah.
Tema “Membumikan Spirit Keulamaan Perempuan untuk Peradaban Islam yang Ma’ruf, Mubadalah, dan Berkeadilan Hakiki” menegaskan posisi KUPI sebagai gerakan yang bertumpu pada tiga paradigma utama: ma’ruf, mubadalah, dan keadilan hakiki.
Dalam kerangka ma’ruf, keulamaan perempuan bertujuan untuk menghadirkan kebaikan kolektif. Melalui perspektif mubadalah, relasi kesalingan laki-laki dan perempuan menjadi dasar pengambilan keputusan. Sementara paradigma keadilan hakiki berperan sebagai fondasi etis yang memastikan bahwa proses keagamaan berpijak pada martabat manusia.
Secara kelembagaan, Halaqah Kubra 2025 berada pada fase ketiga dalam siklus lima tahunan kerja KUPI. Fase tersebut merupakan momentum untuk menghimpun refleksi nasional sebelum memasuki persiapan Kongres KUPI ke-3 pada 2027.
Evaluasi situasi sosial, politik, budaya, dan keagamaan menjadi agenda penting agar gerakan tetap kontekstual dan mampu menjawab tantangan mutakhir, termasuk meningkatnya kekerasan berbasis gender, ketimpangan sosial, krisis kemanusiaan, serta kerusakan ekologis.
Halaqah Kubra juga berfungsi memperluas jejaring lintas sektor. Kolaborasi antara ulama perempuan, media, lembaga pendidikan, komunitas akar rumput, hingga kelompok muda memperlihatkan bahwa KUPI bergerak melalui model gerakan sosial yang inklusif dan berbasis pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan keagamaan.
Forum KUPI memastikan akses perempuan terhadap ruang-ruang pengambilan keputusan, baik dalam ranah keagamaan maupun kebijakan publik. Hal tersebut dengan memperkuat kapasitas ulama perempuan serta memperluas partisipasi peran ulama’ perempuan dalam proses penetapan hukum dan kebijakan
Refleksi Perjumpaan, Refleksi Kebersyukuran
Perjumpaan selama mengikuti rangkaian kegiatan Madrasah Creator KUPI rasanya seperti menjelma menjadi ruang perenungan. Ada rasa syukur yang pelan-pelan tumbuh. Syukur karena mendapat ruang untuk belajar dalam ekosistem yang membangun. Syukur karena bertemu dengan para penulis yang memandang kata sebagai medium merawat pengalaman dan pengetahuan.
Refleksi perjumpaan dan kebersyukuran atas partisipasi dalam beasiswa menulis ini juga mengajarkanku proses menulis selalu mengandung dimensi spiritual. Aku menemukan kembali alasan mengapa menulis tentang ulama perempuan terasa sangat mendesak. Semoga perjalanan yang baru kumulai ini terus menemukan jalannya, dan syukur tetap menjadi penuntun dalam setiap prosesnya. Nanti kita cerita tentang Madrasah Creator KUPI dan Halaqoh Kubro KUPI. []










































