Mubadalah.id – Berbeda dari laki-laki yang nyaris bebas tanpa batas berselancar di dunia maya, perempuan sering kali ditakuti dengan dosa-dosa akibat menggunakan media sosial. Di berbagai grup media sosial, banyak sekali peringatan tentang dosa jariyah yang seorang perempuan lakukan karena memajang foto yang mereka anggap tidak syar’i.
Dosa jariyah adalah dosa yang terus menerus ditimpakan pada pelakunya, meski hanya dilakukan sekali.
Katanya, setiap kali foto perempuan itu laki-laki lihat, maka dosa itu langsung tercatatkan kepada perempuan tersebut.
Bayangkan! berapa kali seseorang melihatnya dalam sehari, dan berapa lama foto itu terus terpajang dan terlihat banyak orang, terus menerus. Karena itulah mereka sebut sebagai dosa jariyah (terus mengalir).
Laki-laki, sekalipun memajang foto dengan berbagai pose dan model, memesona banyak orang, memprovokasi dengan tulisan, suara, gambar, dan videonya di media sosial, tidak pernah terdengar ada narasi dosa jariyah tersematkan kepada laki-laki.
Bahkan laki-laki yang menggunakan media sosial secara jahat sekalipun sama sekali tidak pernah tersematkan kepadanya dosa jariyah.
Media sosial, sekalipun diakses dari rumah, dianggap perpanjangan dari ruang publik, di mana perempuan harus dibatasi, dikontrol, dan diawasi. Dalihnya melindungi, praktiknya mendominasi dan menghegemoni.
Diferensiasi Domestik-Publik yang Tidak Mubadalah
Demikianlah cara pandang yang tidak mubadalah. Secara demarkatif, perempuan orang-orang tempatkan pada ranah domestik. Ruang publik menjadi wilayah penuh laki-laki.
Perempuan di rumah, maksudnya bisa jadi agar dilindungi sekaligus dengan mandat kerja-kerja reproduksi. Walau praktiknya malah dikontrol, diawasi, dan bahkan dihegemoni.
Sementara laki-laki orang-orang dorong ke ruang publik untuk produksi. Maksudnya demi keluarga agar kebutuhan mereka tercukupi, dan keamanan mereka terlindungi.
Walau praktiknya justru dengan wewenang ini, banyak laki-laki yang malah mengontrol, mengawasi, dan bahkan menghegemoni. Sebagian melakukannya secara sewenang-wenang. Yang katanya mendapat perlindungan, malah terhegemoni. Yang katanya melindungi, malah mendominasi. []