• Login
  • Register
Minggu, 20 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial

Menikah bukanlah ajang pembuktian status sosial, melainkan proses kolaboratif yang berbasis pada kesepahaman, komitmen, dan tujuan hidup bersama.

Muhammad Syihabuddin Muhammad Syihabuddin
20/07/2025
in Personal
0
Nikah atau Mapan Dulu

Nikah atau Mapan Dulu

478
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pertanyaan “nikah atau mapan dulu?” telah menjadi semacam stereotipe yang membayangi generasi muda, terutama mereka yang berada di usia 20–30-an. Di satu sisi, ada dorongan budaya dan agama yang menekankan pentingnya menikah untuk menjaga kesucian dan menumbuhkan kedewasaan. Di sisi lain, realitas ekonomi yang tidak mudah membuat banyak orang berpikir dua kali sebelum mengikat janji seumur hidup.

Konsep Kesiapan Finansial dalam Pernikahan

Dalam diskursus pernikahan modern, kesiapan finansial seringkali terkonstruksi sebagai prasyarat ideal menuju kehidupan rumah tangga yang stabil.

Perspektif ini terpengaruhi oleh konteks sosial-ekonomi kontemporer di mana beban biaya hidup, ketidakpastian pekerjaan, serta ekspektasi gaya hidup menjadi bagian dari realita kaum muda. Beberapa studi sosiologis menegaskan bahwa pernikahan tidak semata urusan emosional atau spiritual, melainkan juga keputusan ekonomi (Cherlin, 2004).

Namun demikian, definisi “mapan” kerap bersifat subjektif dan terus bergeser. Sebagian individu mengartikan mapan sebagai telah memiliki aset tetap, penghasilan stabil, dan kemandirian finansial penuh. Sementara yang lain menganggap bahwa kemampuan mencukupi kebutuhan dasar serta kesiapan untuk bertumbuh bersama dalam pernikahan sudah mencerminkan kesiapan ekonomi.

Penundaan pernikahan demi menunggu kondisi mapan secara ekonomi bisa berdampak pada meningkatnya usia menikah, keterasingan relasi, bahkan risiko kesepian. Di sisi lain, menikah tanpa perencanaan ekonomi yang rasional juga meningkatkan kerentanan terhadap konflik rumah tangga, terutama jika berhadapan dengan dinamika krisis finansial. Oleh karena itu, penting untuk menggeser cara pandang terhadap kemapanan. Bukan sebagai prasyarat mutlak, melainkan sebagai proses yang dapat diupayakan bersama pasangan.

Baca Juga:

Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

Kesiapan Psikososial sebagai Fondasi Relasi Pernikahan

Lebih dari sekadar kesiapan ekonomi, pernikahan menuntut kesiapan psikososial, yakni kematangan emosi, kemampuan komunikasi, serta kesediaan untuk berkomitmen dalam jangka panjang. Menurut Erik Erikson dalam teori tahapan perkembangan psikososial, pernikahan berada pada fase “intimacy vs isolation.” Di mana individu harus mampu membentuk ikatan yang dekat dan bermakna sebelum melangkah ke kehidupan berumah tangga.

Kesiapan menikah bukan hanya soal kemampuan mencintai, tetapi juga kesiapan untuk menghadapi realitas kehidupan bersama. Perbedaan pendapat, konflik, dinamika peran gender, hingga pembagian tanggung jawab domestik. Jika kesiapan psikososial ini terabaikan, maka pernikahan bisa berujung pada ketidakharmonisan, meski secara ekonomi pasangan tersebut tergolong mapan.

Ironisnya, tekanan budaya seringkali membuat individu menikah bukan karena siap, tetapi karena takut dicap “terlambat menikah” atau “tidak laku”. Hal ini menunjukkan adanya keterputusan antara keputusan personal dan kehendak sosial. Dalam konteks ini, pernikahan menjadi tindakan simbolik yang tertuju untuk memenuhi ekspektasi kolektif, bukan sebagai ekspresi kesiapan relasional.

Norma Sosial dan Konstruksi Kesiapan Menikah

Pertanyaan “nikah atau mapan dulu” sebenarnya lahir dari konstruksi sosial yang meletakkan standar tertentu tentang waktu ideal dan kondisi ideal menikah. Di masyarakat Indonesia, khususnya yang menjunjung tinggi nilai kolektivitas, tekanan dari keluarga besar, lingkungan, hingga lembaga keagamaan memiliki andil besar dalam menentukan kapan dan bagaimana seseorang seharusnya menikah.

Bourdieu (1984) menyebut fenomena ini sebagai bagian dari habitus—struktur sosial yang membentuk pola pikir, persepsi, dan tindakan individu. Dalam konteks pernikahan, habitus membentuk keyakinan bahwa mapan adalah syarat mutlak, atau sebaliknya, bahwa usia dan status sosial adalah faktor utama dalam menentukan waktu pernikahan.

Akibatnya, individu sering merasa terjebak antara dua kutub ekstrem. Terlalu cepat menikah demi memenuhi norma, atau terlalu lama menunda demi mengejar standar “kemapanan” yang masyarakat tentukan. Situasi ini menimbulkan dilema eksistensial. Apakah kita menikah untuk diri sendiri atau untuk memenuhi ekspektasi sosial?

Penting untuk merekonstruksi kembali pemahaman terhadap pernikahan. Menikah bukanlah ajang pembuktian status sosial, melainkan proses kolaboratif yang berbasis pada kesepahaman, komitmen, dan tujuan hidup bersama. Masyarakat perlu membuka ruang yang lebih fleksibel terhadap keberagaman jalur hidup individu, termasuk dalam hal waktu dan kesiapan menikah

Menjawab pertanyaan “nikah atau mapan dulu” bukan sekadar memilih antara dua opsi. Ia menyimpan kompleksitas yang melibatkan aspek ekonomi, psikologis, dan sosiologis. Menikah tidak harus menunggu kondisi ideal, namun juga tidak boleh diambil tanpa kesiapan emosional dan perencanaan yang matang.

Idealnya, pernikahan dilandasi oleh kesadaran diri, kematangan relasi, dan kesiapan untuk tumbuh bersama. Maka, alih-alih bertanya “nikah dulu atau mapan dulu?”, akan lebih relevan jika kita bertanya, “sudahkah aku siap untuk hidup bersama seseorang dengan segala tantangan dan perjuangan yang akan datang?” []

 

Tags: JodohmenikahNikah atau Mapan DulupernikahanRelasirumah tangga
Muhammad Syihabuddin

Muhammad Syihabuddin

Santri dan Pembelajar Instagram: @syihabzen

Terkait Posts

Kepemimpinan Perempuan

Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

19 Juli 2025
Penindasan Palestina

Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

18 Juli 2025
Kehamilan Perempuan

Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

18 Juli 2025
eldest daughter syndrome

Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

17 Juli 2025
Love Bombing

Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

16 Juli 2025
Disiplin

Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

15 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Karakter Anak yang

    Pentingnya Membentuk Karakter Anak Sejak Dini: IQ, EQ, dan SQ

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membentuk Karakter Anak Lewat Lingkungan Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yamal, Mari Sadar!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Awanillah Amva: Wisuda Bukan Akhir, Tapi Awal Kiprah Mahasantri di Tengah Masyarakat
  • Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial
  • Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan
  • Membentuk Karakter Anak Lewat Lingkungan Sosial
  • Yamal, Mari Sadar!

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID