Mubadalah.id – Sewaktu kecil, ketika sedang bermain bersama teman-teman, sebagai anak laki-laki mungkin kamu pernah bermasalah dengan teman perempuan. Saat itu, semarah apa pun kamu (laki-laki) tidak dibenarkan memukul si perempuan. Jika kamu sampai berlaku kasar pada perempuan, pasti bakal dicemooh oleh teman-teman yang lain.
Dari gambaran ringkas tersebut, sesungguhnya bisa dipahami, kalau masyarakat Nusantara sejak kecil telah diajarkan untuk tidak melakukan kekerasan pada perempuan. Entahlah, apakah edukasi alamiah ini masih berlangsung hingga sekarang atau tidak?
Namun yang jelas, kekerasan terhadap perempuan sejatinya adalah hal yang amat tidak dibenarkan dalam moral sosial masyarakat Nusantara. Sebab, dalam konsep peradaban Nusantara, perempuan menempati posisi yang sangat dimuliakan, oleh karenanya harus dijaga.
Peradaban Nusantara Memuliakan Perempuan
Hasanatul Jannah dalam bukunya Ulama Perempuan Madura: Otoritas dan Relasi Gender, menjelaskan bagaimana posisi perempuan Madura dalam masyarakatnya: “Kedudukan penting kaum perempuan Madura yang disimbolisasikan sebagai tanah, bumi, sumber kekayaan dan kesuburan lainnya sehingga menempatkan perempuan Madura sebagai pilar utama dalam kelangsungan hidup orang Madura, yang harus dijaga kehormatannya dengan sepenuh jiwa dan raganya. Mereka menjadi simbol harga diri bagi kaum laki-laki, jangan sampai istri atau anak perempuannya diganggu dan dipermainkan orang lain.”
Mappajarungi Manan dalam novel sejarahnya berjudul Gadis Portugis: Kisah Gadis yang Terseret Cinta di Medan Perang, juga menggambarkan bagaimana perempuan Gowa sangat dijaga dalam masyarakatnya. Dia menceritakan seorang karaeng (tokoh Karaeng Caddi) yang mengasingkan seorang pria, hanya dikarenakan orang itu kedapatan main-mata dengan adik perempuannya.
Dalam buku Ghirah: Cemburu Karena Allah, karya Buya Hamka, terdapat kisah–yang mungkin terdengar agak berlebihan–sekitar tahun 1938 di Medan, seorang pemuda divonis penjara selama 15 tahun akibat telah membunuh orang, namun dia tetap tenang. Dia tidak menyesal dan tidak malu walau harus masuk bui. Sebab, dia melakukan itu untuk membela harga diri saudarinya yang dilecehkan oleh orang tersebut.
Di Minangkabau, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka, bahwa kebiasaan dahulu para pemuda tidur di surau menjaga kampung. Kalau ada pemuda tinggal di rumah (tidak ikut menjaga kampung) dipandang sangat janggal. Tujuan utama dari menjaga kampung itu adalah untuk melindungi anak-anak gadis (kaum perempuan).
Beberapa contoh tersebut, menggambarkan kalau dalam kehidupan masyarakat Nusantara kaum perempuan harus dihormati, dimuliakan, dan dijaga martabatnya. Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun–terlebih kekerasan seksual (melecehkan/mempermalukan perempuan secara seksual, eksploitasi tubuh perempuan/mendorong perempuan ke arah pelacuran, dan pemerkosaan)–adalah sangat menyalahi nilai-nilai luhur ke-Nusantara-an.
Upaya Mewujudkan Ruang yang Aman bagi Perempuan
Karakteristik ke-Nusantara-an ini seharusnya dapat mendorong semakin baiknya upaya mewujudkan ruang publik yang aman dan nyaman bagi perempuan. Sayangnya, nilai-nilai luhur Nusantara kian hari makin luntur. Pergaulan bebas telah membuat banyak kaum laki-laki makin keropos sifat ke-Nusantara-annya, sehingga jadi kurang memperhitungkan perempuan sebagai manusia yang harus dimuliakan. Boro-boro menjaga, yang ada malah melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Ada yang memosisikan perempuan sebagai mainan, bahan taruhan, untuk sekadar didekati setelahnya dicampakkan. Ada juga yang termakan nafsu bejatnya, sampai melecehkan kaum perempuan. Tidak jarang, si peleceh justru dari kalangan terdidik, semisal kasus seorang petinggi di satu perguruan tinggi yang melakukan pelecehan seksual terhadap dosen perempuan. Yang lebih keterlaluan juga adalah kekerasan suami terhadap istri. Dan, masih banyak lagi kasus-kasus yang menghantam keamanan perempuan baik dalam ranah personal (rumah tangga maupun hubungan pasangan) dan ranah publik.
Berdasarkan CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan, sepanjang 2020 terdapat 8.234 kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP). Angka tersebut barulah kasus yang ditangani oleh lembaga mitra Komnas Perempuan. Sementara, total keseluruhan data yang masuk dalam CATAHU Komnas Perempuan 2020 ada 299.911 kasus KtP.
Dari angka 8.234 kasus yang ditangani lembaga mitra Komnas Perempuan, tercatat 1.731 kasus adalah KtP di ranah publik atau komunitas. Sementara, angka yang lebih besar sebanyak 6.480 kasus adalah KtP KDRT/RP (Kasus dalam Rumah Tangga/Ranah Personal). Ini tentu menggambarkan bahwa banyak perempuan yang terancam keamanan dan kenyamanannya di ranah publik maupun personal. Dan juga, gambaran kalau banyak kaum laki-laki yang kesadarannya untuk memuliakan perempuan telah luntur. Nilai luhur Nusantara kian keropos.
Penguatan kembali nilai luhur Nusantara–yang memosisikan perempuan pada tempat mulia dan karenanya perlu dijaga serta diberi rasa aman–adalah penting. Dan tentu, selain secara moral masyarakat, upaya mewujudkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan hukum (undang-undang) juga perlu. Keduanya urgen dalam upaya memberi ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan. Karena, tidak semua orang punya kesadaran moral, sehingga kejelasan hukum yang menjaga keamanan perempuan sangat dibutuhkan.
Gagal Tafsir Nilai Luhur Nusantara
Nilai luhur Nusantara juga kerap disalah artikan. Misalnya, ketika sebagian orang memaknai kata menjaga dengan tafsiran mengekang. Sehingga, boro-boro yang muncul upaya mewujudkan ruang yang aman bagi perempuan, yang ada malah pengekangan peran perempuan di ruang publik dan terciptanya budaya patriarki di masyarakat.
Padahal kalau menelik sejarah Nusantara, perempuan berkiprah di ruang publik adalah hal yang umum. Banyak perempuan tercatat memainkan peran penting dalam peradaban Nusantara.
Dalam sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow (sekarang wilayah Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara), terdapat bogani-bogani (para pemimpin kelompok masyarakat atau wilayah) dari kalangan perempuan. Satu di antaranya adalah Inde’ Dou’ yang memimpin wilayah Kotabunan di daerah pesisir selatan (sekarang bagian dari Kab. Bolaang Mongondow Timur). Di Aceh, ada masa di mana perempuan menjadi sultanah. Satu di antaranya adalah Sultanah Safiatuddin, perempuan pertama yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam.
Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, kaum perempuan juga ikut tampil di garis depan. Misalnya, Nyi Ageng Serang yang menjadi salah satu pemimpin pasukan dalam Perang Diponegoro. Cut Nya Din, pemimpin wilayah VI Mukim Aceh, yang ikut serta berjuang melawan penjajah. Nurtina Manggo, pemimpin pasukan perempuan Laskar Banteng di Bolaang Mongondow, dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dan masih banyak lagi contoh yang menggambarkan bahwa dalam sejarah Nusantara sesungguhnya banyak perempuan yang ikut tampil di garis depan. Jadi, maksud dari peradaban Nusantara sangat menjaga martabat perempuan bukan berarti membatasi kiprahnya. Melainkan, berusaha memberi ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan, sehingga kaum perempuan juga dapat turut berpartisipasi dalam upaya memajukan bangsa. []