Kira-kira dua tahun yang lalu saya tidak sengaja menonton film dokumenter Girl In The River – The Price Of Forgiveness. Film tersebut berbicara tentang percobaan pembunuhan terhadap perempuan muda di India, perempuan muda itu bernama Saba Qaiser. Ironinya adalah yang mencoba membunuh Qaiser adalah ayah dan pamannya sendiri, karena Qaiser dianggap membawa aib atas nama keluarganya karena jatuh cinta dan dan menikah dengan laki-laki yang tidak disetujui oleh keluarganya. Kepalanya ditembak dan tubuhnya dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke sungai.
Pembunuhan ini mereka anggap sebagai bentuk kehormatan dengan membuang aib keluarga. Namun ayah dan pamannya tidak mengetahui bahwa Qaiser belum mati, Qaiser beruntung karena peluru yang ditembakkan ke kepalanya meleset hanya menggores kulit wajah dan matanya. Setelah ayah dan pamannya pergi, Qaiser meraih ranting pohon di pinggir sungai dan nyawanya terselamatkan.
Qaiser memutuskan untuk pergi ke rumah salah satu kerabatnya dan di situlah kehidupan barunya dimulai, hingga ceritanya diangkat oleh BBC sebagai film dokumenter. Cerita Qaiser sangat unik, dia adalah salah satu korban dari kekerasan lintas budaya terhadap perempuan, namun dia tetap berjuang untuk hidup. Dia selamat dan kini hidup dalam kisah yang dia ciptakan sendiri.
Pembunuhan kehormatan atau “Honour Killing” terjadi tidak hanya di India saja, namun juga di berbagai negara, targetnya adalah perempuan, dan yang membunuh adalah anggota keluarga mereka sendiri sebagai bentuk kendali atas kehormatan.
Banyak sekali budaya yang menjadikan kehormatan sebagai nilai utama dan laki-laki adalah sumber, atau generator/agen aktif dari kehormatan itu sendiri. Di India misalnya, apabila para perempuan menghancurkan kehormatan tersebut, laki-laki merasa bertugas untuk membalas dendam dan menghilangkan penyebab kehancuran kehormatan tersebut, meskipun harus membunuh si perempuan. Dan hal itu disebut dengan Honor Killing.
Tak Jarang, anak laki-laki yang masih kecil dipaksa untuk membunuh dan apabila mereka menolak, mereka akan mendapat reaksi serius dari anggota keluarga dan masyarakat karena dianggap gagal melakukan tugas mereka.
Data kependudukan PBB memperkirakan ada 5000 wanita yang dibunuh setiap tahunnya karena alasan kehormatan, kejadian ini terjadi di seluruh dunia dan tidak terbatas pada satu agama. Tentu saja hal ini berkaitan dengan budaya patriarki, lagi-lagi perempuan yang menjadi korban. Lalu bagaimana reaksi hukum India terhadap kejadian yang menimpa Saba Qaiser? Pada tahun 1980-an pemerintahan India memberlalukan hukuman tegas untuk kekerasan terhadap perempuan.
Namun setelah sekian lama pembunuhan demi kehormatan yang didasarkan atas agama dan budaya terus saja berlangsung, dan di negara Jordan ternyata bahkan hukumpun menganggap pembunuhan demi kehormatan tersebut legal karena perempuan yang dianggap bersalah karena melakukan perzinahan. Bahkan ketika ada laporan tentang pembunuhan seperti itu dianggap sebagai kecelakaan, apabila ada seorang wanita yang dibunuh demi kehormatan tersebut mati karena dicekik, ditembak atau dipukuli dilaporkan sebagai aksi bunuh diri. Dan yang lebih ironi lagi di Negara India para perempuan dari anggota keluarga tersebut mendukung atas tindakan “Honour Killing.”
Maraknya deskriminasi budaya terhadap peremuan menyebabkan tindakan agresi dan kerugian besar bagi kaum perempuan, jutaan perempuan meninggal setiap tahunnya karena pembenaran atas tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan budaya dan agama.
Kembali pada kasus Saba Qaiser. Bagaimana nasib laki-laki yang dinikahinya? Apakah dia mendapatkan perlakuan yang sama? Yaitu dibunuh karena membawa aib keluarga. Suami Saba Qaiser tidak perlakukan demikian karena Qaiserlah yang dianggap sebagai pembawa aib keluarga, maka Qaiserlah yang harus disingkirkan.
Kejadian ini membuktikan bahwa kebudayaan “Honour Killing” ini ditujukan untuk mengendalikan perempuan di bawah wewenang laki-laki. Keberanian Saba Qaiser untuk muncul di media dan menceritakan kisahnya seharusnya menjadi inspirasi bagi wanita lain yang masih terikat akan budaya “Honour Killing” tersebut.
Satu tindakan kecil dapat menjadi dampak besar bagi kesadaran moral dan kesenjangan sosial serta memicu perempuan lain untuk berani mengambil tindakan serupa apabila hal itu tidak sesuai dengan hati nurani mereka.
Pelaku “Honour Killing” ini seharusnya diberi kesadaran bahwa tindakannya berdampak pada banyak hal, pada kehidupan anak atau saudara perempuannya. Karena sampai saat ini pun masih banyak perempuan yang dibunuh secara sadis oleh keluarga mereka sendiri karena kebudayaan bobrok ini, apanya yang disebut kehormatan dalam membunuh seseorang?
Jalaluddin El-Rumi pun pernah berkata “keburukan bisa menjadi kebaikan apabila dihadapkan pada keburukan yang lebih buruk, apabila ada seorang laki-laki ingin membunuh dan ingin berzina dalam satu waktu dan dia tidak jadi membunuh karena memilih untuk berzina, maka berzina itu baik karena dapat menyelamatkan nyawa orang.” Dari kutipan ucapan Jalaluin El-Rumi tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa membunuh adalah dosa terburuk daripada dosa lainnya.
Status kemaskulinan laki-laki dijadikan legitimasi bahwa laki-laki lebih bijak, lapang dada, dewasa dan emosinya yang paling stabil. Seharusnya laki-laki harus melepaskan diri dari labirin kekuasaan dan mulai berpikir “saya sebagai manusia” bukan lagi “saya sebagai alat kelamin saya.”[]