Mubadalah.id – Tak ada megafon. Tak ada panggung. Tapi suaranya terdengar hingga ke dapur-dapur ibu rumah tangga, bergaung lewat pengajian dan silaturahmi yang ia bangun dengan kesabaran. Di sebuah desa kecil di Jepara, seorang perempuan sepuh melawan arus kemiskinan, kebodohan, dan keterasingan perempuan desa dari ruang sosial. Namanya Umik Nyai A’izzah Amin Sholeh. Tapi masyarakat memanggilnya dengan penuh hormat dan kehangatan: Umik Zah.
Lahir pada 14 Agustus 1940, Umik Zah tumbuh dalam keluarga yang menanamkan dua warisan besar: keilmuan dan kepedulian. Ayahnya, KH Haroen Syakur, adalah Rois Syuriyah Nahdlatul Ulama Kecamatan Bangsri.
Sementara ibunya, Nyai Hj Rofi’ah, memimpin Muslimat NU setempat. Keluarga ini bukan hanya alim, tapi juga peduli terhadap kehidupan masyarakat sekeliling. Nilai-nilai itu yang tertanamkan sejak dini kepada Umik Zah—nilai yang kelak tumbuh menjadi gerakan sosial yang senyap, namun membumi.
Pendidikan formalnya tidak panjang. Hanya dua tahun di SMPN 1 Jepara, lalu melanjutkan ke Nahdlatul Muallimat di Kauman, Solo, hingga kelas empat. Di sana, ia berguru kepada ulama besar seperti Kiai Zainuddin Kauman. Tapi, di balik keterbatasan itu, ia tumbuh dengan semangat belajar yang tak kunjung padam. Ia menyerap ilmu dari lingkungan pesantren, dari kitab-kitab tua, dari para kiai, dan yang terpenting, dari kehidupan.
Pendiri Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara
Pada usia 17 tahun, Nyai A’izzah Amin Sholeh menikah dengan Kiai Mohammad Amin Sholeh, putra dari Kiai Sholeh Tayu, guru dari ayahnya sendiri. Sebuah pernikahan yang tidak hanya menyatukan dua keluarga ulama, tapi juga dua semangat yang sama. Mendidik, membina, dan mengabdi. Dari pasangan ini lahirlah Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri pada awal 1960. Sebuah titik awal dari berbagai perubahan yang pelan-pelan mekar dari pinggir desa.
Banyak orang mengenal Umik Zah sebagai ibu dari pesantren. Tapi yang tidak banyak kita sadari, ia adalah arsitek dari gerakan sosial kultural perempuan desa. Sejak 1960-an, ia memulai pengajian Jumat siang yang diikuti oleh 30-an ibu rumah tangga yang mayoritas buta huruf hijaiyah. Ia tidak menertawakan mereka. Ia mendampingi dengan sabar, menyimak bacaan mereka satu-satu. Ia tahu, perubahan tidak bisa diburu. Ia harus kita tumbuhkan.
Tahun 1980-an, Umik Zah menggagas pengajian Rolasan. Pada mulanya, hanya permintaan Maulid dari satu rumah ke rumah lain. Tapi karena antusiasme tinggi, pengajian itu berlangsung sampai 35 hari, melebihi satu bulan hijriyah. Lambat laun, pola pengajiannya dibuat berkeliling setiap RW.
Hingga kini, 18 RW di Bangsri memiliki kelompok pengajiannya masing-masing, dan pengajian akbar terselenggara setiap tanggal 12 bulan hijriyah, diikuti lebih dari 2.000 jamaah. Untuk menopang logistik dan keberlanjutan, ia membentuk BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim). Di situlah Umik Zah bertransformasi dari sekadar ibu kiai menjadi organisator, administrator, dan inspirator perempuan.
Mendirikan Koperasi Simpan Pinjam
Kiprah ini tidak berhenti di ruang spiritual. Ia menerobos ruang ekonomi. Di usia 72 tahun, ketika banyak perempuan lain sudah memilih beristirahat, Umik Zah malah mendirikan koperasi simpan pinjam untuk para bakul pasar.
Ia resah melihat para pedagang kecil yang terjerat utang kepada rentenir. Utang yang tak pernah lunas, bunga yang makin mencekik. Ia menyusun sistem alternatif: sederhana, namun memberdayakan. Sampai kini, ia masih berjuang agar lebih banyak bakul yang lepas dari jeratan lintah darat itu.
Ia juga menggagas GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) di tingkat desa. Para ibu yang relatif mampu diajak menyumbang rutin, membantu biaya sekolah anak-anak dari keluarga miskin. Setiap bulan, anak-anak itu datang membawa Kartu SPP. Umik Zah menandatangani sendiri. Bukan sekadar simbolik, tapi bentuk pengawasan sosial yang akuntabel. Sudah lebih dari 10 tahun program ini berjalan, membantu ratusan anak yang hampir putus sekolah.
Tak semua orang sanggup bertahan dalam gerakan yang tidak kasat mata. Tapi Umik Zah tetap di sana. Konsisten. Istiqamah. Di tengah dunia yang sibuk dengan branding dan panggung media sosial, Umik Zah adalah jenis tokoh yang langka. Dia bekerja dalam sunyi, namun hasilnya terasa oleh banyak orang. Ia tidak pernah meminta panggung. Tapi setiap kali ia bicara, jamaah menyimak. Ketika ia hadir, orang-orang berdiri menyambut. Ia kita hormati bukan karena jabatan, tapi karena keteladanan.
Keberkahan Hidup Adalah Kebermanfaatan
Kini, di usia 82 tahun, Nyai A’izzah Amin Sholeh masih memberi pengajian, ziarah ke makam para wali, dan mendampingi perempuan desa dalam berbagai kegiatan. Ia juga masih tekun membaca Alquran, memperbanyak ibadah, dan menerima tamu yang datang silih berganti. Waktu baginya bukan alasan untuk berhenti. Ia meyakini bahwa keberkahan hidup ada dalam kebermanfaatan, dan perempuan desa pun bisa menjadi pelopor jika kita beri ruang dan kepercayaan.
Dari Bangsri, Jepara, Nyai A’izzah Amin Sholeh menyalakan lilin kecil. Tapi nyalanya tak padam. Ia menerangi lorong panjang perjuangan perempuan desa yang selama ini tak terdengar. Dalam dirinya, nilai-nilai Islam, tradisi pesantren, dan semangat sosial bersatu menjadi gerakan akar rumput yang lestari.
Sementara di pusat kota wacana tentang pemberdayaan perempuan terus menggelinding, Nyai A’izzah Amin Sholeh diam-diam telah membuktikan. Bahwa perubahan besar bisa tumbuh dari ruang kecil, dari hati yang tulus, dari perempuan tua yang tak kenal lelah. []