Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, teman saya memposting status di Whatssapp story. Dalam postingan WA story-nya ada seorang bayi baru lahir di Mojokerto, namanya Aruna yang ibunya meninggal setelah melawan Corona. Bayi tersebut atas persetujuan ayah dan anggota keluarga lainnya, membutuhkan donor ASI.
Membaca postingan teman saya tersebut, seketika hati saya remuk, ikut berlinang air mata. Apalagi bayi tersebut bernama Aruna, sama dengan nama anak saya yang lahir tahun 2020, tepat pada awal-awal pandemi. Aruna di Mojokerto dan Aruna anak saya sama-sama lahir di masa pandemi. Tapi sayangnya, Aruna di Mojokerto harus merelakan kepergian ibunya ketika dirinya masih bayi.
Di sisi lain, Aruna anak saya masih beruntung, karena ayah dan ibunya sampai saat ini masih mendampinginya. Beruntungnya, Aruna di Mojokerto punya ayah yang dengan sigap berusaha mencari pendonor ASI. Saya tidak tahu kisah lengkap Aruna dan keluarganya tersebut. Namun, bagi saya, ayah dan keluarga Aruna merupakan sosok yang hebat.
Ayah Aruna saat ini juga berperan sebagai ibu. Walaupun tidak dapat menyusui Aruna, namun ia sudah berusaha memberikan hak hidup yang layak untuk Aruna. Mencari donor ASI yang berkualitas merupakan sebuah bentuk cinta kasih yang dilakukan oleh sang ayah. Mungkin sang ayah tidak pernah menghendaki kondisi ini terjadi pada anaknya. Tapi, sang ayah seolah sudah siap menerima kenyataan bahwa ibu Aruna tidak bisa mendekap Aruna sebagaimana mestinya.
Aruna di Mojokerto hanya salah satu bayi yang ditinggalkan ibunya akibat Covid-19. Pada faktanya, memang trend donor ASI mulai bermunculan akibat banyak ibu bayi meninggal dunia. Dikutip dari kompas.com, ada seorang warga Lebak Bulus bernama Yosepha yang rela mendonorkan ASI nya kepada bayi-bayi yang ibunya meninggal atau ASI belum keluar. Dalam sepekan, Yosepha menerima empat pesan dari pihak yang meminta donor ASI karena ibu sang bayi meninggal dunia akibat Covid-19.
Cerita pilu bayi yang ditinggal oleh ibunya juga sejalan dengan anak-anak yang tiba-tiba harus menjadi yatim piatu akibat orangtuanya meninggal dunia. Dalam berita www.cnnindonesia.com, ada 5 ribu anak di Jatim ditinggal meninggal orangtuanya.
Menurut penjelasan Andriyanto, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan Provinsi Jatim (DP3AK Jatim), sekitar 5.082 anak menjadi yatim piatu berdasarkan asumsi seperempat penduduk Jatim terdiri dari anak usia 0-18 tahun. Jumlah yatim piatu yang meninggal akibat Covid-19 memang masih perlu ditelusuri lagi.
Masih dari cnnindonesia.com, diberitakan bahwa menurut Perkumpulan Obsteri dan Ginekologi Indonesia (POGI), dalam setahun terakhir ada 536 ibu hamil yang terkonfirmasi positif covid. Adapun 3 persen diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut bukan bualan, pasalnya di sekitar saya juga ada ibu hamil yang terpapar covid.
Seorang ibu sekaligus wali murid di tempat ibu saya mengajar pun saat ini tengah berjuang menjalani masa recovery setelah sempat terpapar covid ketika hamil hingga persalinan. Statusnya saat ini memang sudah negatif covid-19. Namun yang bersangkutan saat ini masih dirawat di rumah sakit karena masih butuh perawatan intensif. Bayi yang dilahirkannya saat ini aman bersama keluarganya. Saya berharap sang ibu lekas sembuh total agar dapat merawat bayinya.
Bagi saya, apa yang terjadi pada bayi dan anak-anak ini bukan soal jumlah atau angka kematian. Nyawa seseorang bukan soal hidup dan mati, tapi perihal makna dari nyawa tersebut. Khususnya dalam kondisi pandemi yang tidak pasti ini.
Pada masa pandemi yang sulit ini, suami saya pun pernah terpapar covid. Dengan sedih dan legawa saya menerima kenyataan tersebut. Saya menerima dengan air mata dan tawa karena sempat mempertanyakan, kenapa bisa suami saya terpapar covid, padahal suami saya jarang keluyuran, bahkan pekerjaan di luar rumah pun suami saya tidak punya akibat pandemi. Suami saya hampir jarang sekali keluar rumah. Rasanya bagi saya seperti candaan yang ironi.
Suami saya terpapar covid dengan gejala ringan dan harus menjalani isolasi mandiri. Dengan legawa saya merawat suami saya. Walaupun bergejala ringan, tidak dipungkiri rasanya setiap detik rasa khawatir muncul. Ini bukan soal saya, tapi soal Aruna, anak saya yang masih kecil.
Ibu saya juga terpapar covid dengan gejala yang sangat ringan. Beruntungnya ibu saya sudah vaksin lengkap, jadi meskipun ibu saya punya diabetes, tidak terjadi komplikasi apa-apa. Bahkan kondisinya jauh lebih baik daripada suami saya. Ibu dan suami saya menjalani isolasi mandiri sampai tuntas.
Sedih rasanya ketika suami dan ibu saya terpapar covid. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Aruna, sayang pada Aruna. Dari sini saya sadar, bahwa setiap orang bisa mengalami musibah setiap saat, maut pun terasa dekat. Tapi, untuk kehilangan orang terdekat dan bermakna, saya tidak pernah siap.
Dari sini saya benar-benar menyadari, bahwa nyawa kita hanya satu, tapi nilainya tidak terhingga. Di masa pandemi ini, kita tidak boleh asal bertindak. Apa yang akan kita lakukan, perlu mempertimbangkan kemaslahatan orang di sekitar kita. Jika kita kehilangan satu orang yang bermakna dalam hidup kita, maka hilang juga satu makna dalam hidup kita.
Seperti anak-anak yang ditinggal oleh orangtuanya entah akibat Covid-19 atau bukan. Anak-anak ini bukan sekedar kehilangan nyawa orangtuanya, tapi juga nilai kehadiran orangtuanya yang sebenarnya. Oleh karena itu, untuk setiap orangtua di luar sana, berusahalah bertahan untuk anak-anak kalian. Jika diberi kesempatan, bertahanlah agar dapat membersamai tumbuh kembang anak-anak kalian.
Untuk anak-anak dan bayi-bayi yang ditinggalkan orang tuanya entah itu karena meninggal atau menghilang tanpa kabar, semoga kalian tumbuh menjadi anak yang kuat, hebat dan bahagia dimanapun berada. Kalian tidak pernah memilih terlahir di dunia dengan cara apa dan bagaimana, tapi kalian tetap layak hidup bahagia dan layak dengan atau tanpa orangtua.
Bagi anggota keluarga yang harus ambil peran menjadi orang tua dari anak yatim piatu, maka sayangilah anak-anak tersebut sebagaimana yang dibutuhkan anak untuk hidup layak. Bagi yang saat ini berjuang menjadi orang tua tunggal, kalian tetap hebat dan utuh sebagai orangtua dengan terus memberikan kasih sayang yang tulus pada anak-anak kalian.
Bagi ibu hamil dan ibu nifas yang berjuang di masa pandemi, kalian adalah perempuan yang luar biasa. Kalian harus berjuang meskipun dalam lelah dan kondisi pandemi yang tidak pasti ini. Mintalah dukungan dari pasangan dan keluarga agar bisa menjalani kehamilan dan persalinan dengan baik. Para suami dan anggota keluarga yang lain, perlu siaga menjaga kesehatan mental dan fisik ibu hamil dan nifas. Di masa pandemi ini, saling jaga dan menguatkan adalah kunci untuk keselamatan nyawa yang nilainya bermakna. []