Mubadalah. Id – Bakda maghrib, hampir dipastikan whatsapp ku berdering telepon (kadang chat) atas nama kamu, Ustad Salimin untuk mengajak makan — atau sebaliknya.
Ketika semua santri ngaji kitab ke Kiai Sukandi, kita berdua siap menyantap nasi. Kadang kala, kau bawakan lauk yang kupesan dari PP. Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.
Filosofi Sebutir Nasi
Acap kali kau menyampaikan ke saya riwayat dari Gus Tamam terkait filosofi makanan. Bahwa di balik sebutir nasi yang tersaji di wadah kita, ada keringat petani-petani kita saat menanamnya dan memanennya.
Ada jerih payah orang tua kita mendapat dan mengelola sebutir nasi tersebut. Sehingga tak elok kita menyisakan sebutir nasi itu tergeletak di piring kita. Aku menambahkan, dalam bahasa hadis Nabi yaitu.
فَإِنَّكُمْ لا تدْرُونَ في أَيِّ طَعامِكُمُ البَركَةُ.
“Sesungguhnya kalian semua tidak tahu dalam makanan yang manakah keberkahan itu bersemayam” (HR. Muslim).
Artinya, setiap butir nasi menyimpan keberkahan dari pengharapan dan ketulusan petani kita saat menanam, merawat, dan memanennya. Ada keberkahan dari jerih payah orang tua kita dalam mendapatkan dan keikhlasan mengelolanya hingga bisa kita makan. Begitulah kira-kira pesan Nabi.
Setelah makan, kita bersantai di depan gubuk mu, rokoan. Sembari khusuk rokoan kita berkisah. Dari hal yang remeh temeh hatta soal ide, gagasan besar dan muliamu, persoalan bangsa dan negara. Soal anak-anak desa yang mesti berpendidikan dengan akhlak yang mulia.
Depan Gubuk Bakda Maghrib, Kita Berkisah
Salah satu pembahasan remeh yang santer kita bicarakan adalah soal ayam yang kita beli bersama itu. Mulai dari cara beri makan yang sehat, hingga menambah ekor lebih banyak lagi. Bagi saya, ayam-ayam itu bentuknya lauk kalau nanti kita masak, atau uang kalau kita jual.
Rupanya saya salah, di matamu ayam-ayam itu tempat implementasi ilmu fikih lingkunganmu. Kau menempatkan ayam sebagai entitas makhluk hidup. Makhluk hidup sebagai mana kita, manusia. Sehingga manusia tidak boleh sewenang-wenang ke mahluk lain. Meski menjadi pusat dari jagat raya atau dalam bahasa Al-Quran, Khalifah fil ardi yang kemudian kenal dengan aliran antroposentris.
Ustad Salimin, kamu mempraktikkan fikih biah (lingkungan). Contoh kecil kita sama-sama memberi makan ayam kita, bedanya kau memberi makan karena bagimu ayam itu makhluk hidup yang juga wajib makan yang layak. Bagi saya, karena ia ayam yang akan saya manfaatkan untuk kepentingan manusia.
Sesekali kita ketawa depan gubuk itu, Ustad Salimin. Bagaimana tidak, kita sering diskusi soal makanan ayam yang rutin, bergizi, dan sehat. Faktanya ayam kita tambah kurus tak karuan. Dan sesekali kita hanya kumpul depan gubuk itu tanpa bicara, hanya sepatah dua patah lalu kita tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Memakmurkan Bumi
Oh iya. Salah satu ide dan gagasanmu yang menurut saya besar dan mulia yaitu kau akan mengoptimalkan lahan-lahan di desamu, Kangean. Bersama istrimu, kau akan mengelola tanah yang kau punya semaksimal mungkin – tanpa mengabaikan pendidikan. Dalam bahasa agama yang sering kita pakai sebagai istilah teknis, memakmurkan bumi Tuhan.
Tentu memakmurkan bumi bukanlah mengeksploitasi, hanya mengeruk keuntungan dari bumi demi memenuhi dahaga kerakusan manusia. Tidak. Tapi mengambil manfaat dari bumi itu secara proporsional dan melestarikannya berkala dan berkelanjutan.
Sehingga lahir simbiosis mutualisme antara alam dan manusia. Itulah hakikatnya memakmurkan bumi, kataku padamu, Ust. Salimin dan kau geleng-geleng kepala seolah dapat kuliah umum dari ilmuan Jerman.
Allah berfirman dalam Surat Hud ayat 61:
هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗ
Artinya: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya maka minta ampunlah kalian dan bertaubat kepadanya…,”.
Soal itu, kau kategorikan sebagai “Fikih Biah” dengan referensi kitab al-Biah karya Syekh Ali Jum’ah. Yang mana saya tidak setuju denganmu, Ust. Salimin. Saya lebih suka pakai istilah “fikih Agraria” dengan rujukan dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah yang saya cocok logikan dengan konsep Ihya’ul Mawat yang sudah aku modifikasi.
Tapi kita tidak berdebat soal istilah teknis atau konsep dasar yang kita gunakan. Intinya, kau ingin mengembangkan lahan Tuhan semaslahat mungkin. Mengelola lahan secara benar, tidak hanya secara ilmu pertanian tapi juga secara aturan “fikih biah”. Mulai dari sebelum, saat, dan sesudah menanam di lahan tersebut.
Ringkasnya, bukan hanya kita dapat apa dari bumi, tapi bumi dapat apa dati kita. Saya pun berdecak kagum dengan gagasan dan ide cemerlang serta niat tulusmu. Karena persoalan pangan, adalah masalah akut di Negri ini.
Pentingnya Menanam Pohon
Terbaru, kau bercerita ingin menanam pohon kelengkeng di depan asrama. Tekad itu bulat, kau minta izin ke Kiai Sukandi untuk menanamnya. Betapa mulia alasanmu, agar pondok ini rindang sembari ada buahnya yang bisa santri makan. Lagi-lagi, saya geleng-geleng kepala lihat orang seperti kamu, Ust. Salimin.
Suatu ketika kau bilang, soal teori dan wacana fikih biah, saya lebih unggul darimu. Benar. Tapi kamu mempraktikkannya, bukan hanya berwacana.
Misal, dengan menanam pohon kelengkeng setidaknya kau menabur dua manfaat. Membantu penghijauan bumi yang sekarang sekarat dari pemanasan global, dan membantu santri-santri yang bahagianya tak terkira bisa makan buah-buahan kelengkeng itu. Saya iri padamu.
Kau mempraktikkan hadis Nabi akan pentingnya menanam pohon. Salah satu hadis Nabi menandaskan.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
“Rasulullah bersabda, “Tiadalah orang muslim yang menanam pohon kecuali apa yang dimakan akan beenilai sedekah. Yang dicuri juga bernilai sedekah. Tiadalah orang yang mengambil buah dari pohonnya kecuali bernilai sedekah untuk yang menanam sampai hari kiamat”
إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
Artinya: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari&Ahmad)
Pentingnya Mematikan Rokok Saat Perjalanan
Dan lagi, tiap kali mau berangkat perjalanan, tad Salimin, apa lagi saat menggunakan motor. Kau pasti mematikan rokokmu, atau kau habiskan dulu. Padahal, bagi saya itu merupakan bentuk refresing gratisan, nikmat berupa beban pikiran berkurang.
Tapi itu dulu, sekarang aku sadar tanpa kau tegur atau ingatkan bahwa kelakuan demikian tak terpuji. Aku sadar dengan sulukmu mengapa kau selalu mematikan rokokmu saat kita hendak berangkat perjalanan. Kau lagi-lagi mempraktikkan fikih lingkungan-sosial. Dengan kata lain, “Bila tak bisa bermanfaat untuk orang lain, setidaknya tidak membuat orang susah”.
Karena faktanya, orang sekitar paling jengkel berjalan beriringan dengan orang yang berkendara sembari merokok. Orang sekitar merasa terganggu dan tersakiti karenanya.
Kesekian kalinya aku menggelengkan kepala gegaramu, Uts. Salimin. Rupanya saya hanya menghafal dan tak benar-benar menjalankan hadis Nabi sebagaimana engkau Ust. Salimin.
لا ضرر ولا ضرار
“Janganlah berbuat mudarat pada diri sendiri apa lagi orang lain” (HR. Al-Hakim)
Menghidupkan Waktu Antara Maghrib dan Isya dan Selintas Kisah Asmaramu
Itulah ritual kita hampir setiap bakda maghrib. Kita amat khusuk mengihya’ ‘isya’aini (menghidupkan waktu antara maghrib dan isya) dengan cara berbeda. Kadang cerita, kadang diskusi yang remeh hingga “ide besar” kadang khusu’ mendengar lantunan solawat “Ya Saayyidi”.
Saking khusuknya, kita lupa tak pernah foto bersama. Ya, saya tak punya fotomu yang sama saya satupun. Anehnya, Jumat itu kau tumben mengajak foto bersama saya dengan jaz pernikahanmu yang gagah, yang entah kenapa foto itu tak jadi, bahkan tak akan pernah terjadi.
25 tahun lalu engkau lahir ke dunia, setahun setelah krisis moneter 1999. Tak lama Tuhan memberi karunia 2 adik yang lucu, perempuan dan laki-laki. Kau begitu hangat tiap kali menyapa keluargamu.
Dalam suasana keluarga yang sederhana, kau terus tumbuh. Melalang buana menjalankan perintah Ilahi mencari ilmu menuju kebenaran. Laksana Salman Alfarisi yang bermusafir dari Persia hingga bertinggal di Madinah demi Kebenaran Islam. Atau bak biksu Tong Sam Cong yang berjelan ke barat mencari kitab suci.
Kau sudah mendapatkannya. Tugas mencari kebenaran sudah selesai, dan tugas baru menantimu: pulang menikahi perempuan yang mendekatkan diri ke Tuhanmu. Dan 21 September 2024, harusnya engkau mengikatkan janji pernikahan dengan kekasihmu.
Perjanjian antara kamu dan istrimu yang Alquran sebut Mitsaqan Ghalizdan, sehingga kau mempersiapkan segalanya dengan kesungguhan demi menyambut kekasih yang akan kau halalkan melalui kalimat suci Tuhan. Tapi rupanya tuhan lebih dulu memanggilmu.
Kepergianmu
Dan perenungan kita itu mulai bubar manakala sudah ada ustad-ustad berdatangan — sebagai tanda waktu mengajar. Misal Ust. Ramsi, Ust. Asroni, Ust. Hasan. Lalu saya akan pergi ke tingkat atas siap mengajar.
Tapi sekarang, dirimulah Ust. Salimin yang pergi bahkan kau tak akan balik lagi di gubuk ini bakda maghrib waktu kita berhikayat dengan syahdu. Kau pergi pada 10 September 2024 bertepatan 6 Rabiul Awal 1446 menuju ke pangkuan Tuhanmu yang merindukanmu.
***
Sekarang dan seterusnya, tentu whatsapp ku tak ada telepon darimu lagi. Meski saya akan tetap makan, dan setelah itu saya akan kirimkan makan untukmu berupa doa dan fatihah. Ke mana teleponmu Ust. Salimin, seorang fakih biah berjalan? []