Mubadalah.id – Kekerasan seksual terhadap perempuan masih kencang dibicarakan, mengingat semakin tingginya kasus kekerasan seksual di setiap tahunnya. Catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2017 mencatat sebesar 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan. Relasi kuasa dalam kekerasan seksual menjadi dominan.
Baru-baru ini kembali mencuat kabar kasus kekerasan terhadap perempuan yang dialami oleh salah satu asisten ahli di Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK).
RA (27) mengalami kekerasan seksual yang dilakukan atasannya, yakni salah satu anggota Dewas BPJS-TK berinisial SAB. RA mengalami kekerasan sejak April 2016 hingga November 2018. Selama periode itu selain pemaksaan hubungan seksual, RA mengaku berulang kali mengalami pelecehan seksual baik di dalam maupun di luar kantor.
RA melaporkan kejadian tersebut ke Ketua Dewan Pengawas BPJS-TK, Guntur Witjaksono. Alih-alih mendapat perlindungan, ia justru mendapat surat PHK. Dalam surat yang sama ia juga dipaksa untuk tidak melaporkan kejadian tersebut. Hingga saat ini, surat tersebut belum ditandatangani.
Kejadian yang dialami RA sudah cukup lama, namun ia merasa takut untuk melaporkannya. Apalagi pelakunya adalah orang yang sangat dominan, dihormati, dan disegani di lingkungan BPJS-TK. RA takut disalahkan, khawatir laporannya akan mempengaruhi karir, dan khawatir akan mendapat balasan dari pelaku.
Bekerja di lingkungan yang berisi orang-orang hebat tidak lantas membuat perempuan aman dari gangguan kejahatan. Tidak jarang perempuan justru mengalami kekerasan di tempat ia bekerja.
Survei yang dilakukan oleh Never Okay, sebuah inisiatif yang bergerak dalam upaya penghapusan pelecehan seksual yang bekerja sama dengan platform kolaborasi media Scoop Asia. Survei kuantitatif itu diselenggarakan pada 19 November hingga 9 Desember 2018, yang menghasilkan data sementara dari total 1.240 responden, 81,29 persen di antaranya mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Data tersebut didominasi perempuan yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Otonomi tubuh dan relasi kuasa
Kekerasan seksual menjadi permasalahan yang belum terpecahkan di Indonesia, selain karena belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur permasalahan tersebut. Hal ini juga diperparah dengan adanya anggapan yang masih diselimuti paradigma kuno tentang kekerasan seksual, salah satunya dengan menyalahkan korban.
Anggapan bahwa seks adalah topik yang tabu, serta kurangnya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi di Indonesia turut menjadi penyebab mengapa kita tidak sepenuhnya memahami konsep kepemilikan atau otonomi tubuh kita sendiri.
Perlu dipahami bahwa setiap orang memiliki kendali atas tubuhnya sendiri. Tubuh kita adalah milik kita sendiri, bukan milik keluarga, masyarakat atau bahkan pemerintah.
Namun sering kita temui bagaimana masyarakat kita memandang tubuh perempuan, dengan mendorong perempuan untuk memakai pakaian tertentu, misalnya. Masyarakat tidak berhak mengatur atau menentukan cara berpakaian seseorang. Kita berhak menentukan cara bagaimana kita mengekspresikan diri kita sendiri.
Laki-laki dan perempuan harus memahami sepenuhnya konsep otonomi tubuh dan pentingnya saling menghormati satu sama lain.
Apakah jika perempuan berhak untuk melakukan apapun yang ia mau atas tubuhnya, itu berarti laki-laki juga berhak melakukan apapun yang mereka mau pada tubuh perempuan? Tidak sama sekali!
Adanya kekerasan seksual karena pelaku merasa memiliki kuasa atas tubuh korban. Tetapi yang sering dipahami dalam kasus kekerasan seksual adalah persoalan seksual saja. Dalam salah satu esai di Jurnal Perempuan mengatakan bahwa, pemerkosaan tidak terkait dengan kekerasaan seksual melainkan tentang mengendalikan korban dan mencabut otonomi serta kemanusiaannya.
Jadi, kasus kekerasan seksual terjadi bukan karena pelaku tidak dapat mengontrol nafsu seksualnya, melainkan terdapat dorongan untuk mendominasi korban secara seksual.
Banyak anggapan mengatakan perempuan seharusnya melawan saat kejadian tersebut menimpa dirinya. Nyatanya, korban kekerasan seksual mengalami ketakutan yang mendalam saat kejadian bahkan korban sama sekali tidak dapat menggerakkan tubuhnya.
Pada masyarakat yang kental dengan patriarki, laki-laki yang dianggap lebih superior dari perempuan. Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah salah satu cara untuk membuktikan ‘siapa yang lebih berkuasa’ sekaligus sebagai upaya validasi atas superioritas.[]