Mubadalah.id – Dalam catatan para ilmuwan hadis, para perempuan generasi pertama masa Nabi Muhammad Saw terlibat aktif dalam pengajaran dan periwayatan hadis Nabi.
Tercatat hampir seribu dari sahabat perempuan yang menjadi pengajar, atau tepatnya perawi hadis, seperti Aisyah dan Asma bint Abi Bakr, Hafshah bint Umar bin al-Khattab, Khansa binti Khidam, Ummu Salamah, Ummu Ayyub, Ummu Habibah ra, dan banyak lagi lainnya.
Anehnya, jumlah perempuan yang ilmuwan menjadi semakin kecil ketika dunia Islam justru semakin berkembang, baik dari sisi politik maupun sosial.
Pada abad ketiga Islam misalnya, hanya ada sepuluh perempuan yang dikenal dan tercatat sebagai penyampai ilmu pengetahuan (Ruth Roded, Kembang Peradaban, 1995:119-123).
Berarti persoalan kemunduran pendidikan perempuan bukan pada ajaran Islam, bukan juga pada teksteks hadis. Tetapi pada umat Islam sendiri, yang semakin hari semakin memposisikan perempuan pada tempat yang marjinal dalam hal pengajaran dan pendidikan.
Memperjuangkan pendidikan perempuan adalah meletakkan persoalan pada posisi semula, di mana Islam awal meletakkannya.
Pemihakan dalam Materi Pendidikan
Pendidikan termasuk salah satu pranata sosial yang paling bertanggung jawab melestarikan ketimpangan-ketimpangan gender.
Materi pengajaran agama yang berkembang juga merupakan salah satu faktor yang mungkin banyak memengaruhi budaya patriarkhal.
Materi-materi ini harus dikaji ulang dan disusun kembali agar ketimpangan-ketimpangan tidak lagi terjadi, dan keadilan bagi perempuan yang juga berarti keadilan bagi semua akan terwujud.
Bahkan lebih banyak teks-teks hadis yang ulama maknai dengan cara yang timpang dan tidak adil dalam kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan.
Dari sebagian teks-teks hadis, sebagia orang mengenal ajaran bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Perempuan adalah fitnah, kurang akal, kurang agama, dan sebagai penghuni neraka terbanyak.
Kemudian banyak perempuan tidak layak menjadi pemimpin, tidak sah mengawinkan dirinya atau orang lain. Tidak sah menjadi saksi, tidak boleh bepergian kecuali dengan kerabat, harus tunduk pada aturan suami. Bahkan ada teks yang menyatakan bahwa perempuan adalah sumber kesialan.
Pemaknaan terhadap teks-teks hadis seperti ini harus kita kaji ulang. Bahkan sebagian di antaranya harus kita tolak karena sanadnya lemah, atau karena maknanya bertentangan dengan ayat al-Qur’an. Atau dengan hadis lain yang sanadnya lebih kuat. []