Mubadalah.id – Komitmen dan sikap Nahdlatul Ulama (NU) terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi sangat jelas dan tegas (sharih lafdhan wa ma’nan).
Dalam pandangan NU, korupsi merupakan penghianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Pengertian ini memahamkan bahwa segala bentuk penghianatan atas amanat rakyat bisa saja disebut korupsi. Termasuk di dalamnya adalah penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain.
Sedangkan penodaan terhadap amanat rakyat (ghulul) itu sendiri menurut ijma’ para ulama termasuk salah satu dosa besar sebagaimana dinukil Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi:
“Kaum muslimin telah bersepakat tentang sangat haram ghulul dan termasuk salah satu dosa besar.”
Korupsi, dalam pandangan NU, juga sebuah kedzaliman luar biasa (dhulmun ‘azhim) dan selalu terkait dengan keuangan negara.
Sementara keuangan negara merupakan hal yang sangat fundamental. Karenanya para ulama NU meletakkan prinsip-prinsip moral keagamaan perihal sesuatu yang sangat fundamental ini. Yakni “keuangan negara”: dari mana bersumber: siapa pemilik sesungguhnya, untuk siapa/apa harus di –tasharruf-kan. Serta apa tanggungjawab negara/pemerintah dalam hal ini, dan apa wewenang rakyat.
Di antara sumber keuangan negara adalah pajak dan aset-aset lain yang negara miliki, termasuk di dalamnya adalah kekayaan alam.
Dengan acuan ini, dapat kita katakan bahwa sumber keuangan negara adalah dari keringat rakyat dan dari pengelolaan alam di bumi Allah.
Oleh karena itu, dalam pandangan NU, negara harus bertanggungjawab untuk men-tasharruf-kannya demi kepentingan rakyat (mashalih arra’iyyah) dengan seadil-adilnya tanpa membedakan warna kulit, suku bangsa, golongan, gender, pilihan politik, maupun agama dan keyakinan.“
Hal ini seperti dalam salah kaidah fiqih dan firman Allah berikut ini:
“Seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu mengacu kepada kepentingan mereka.” []