Mubadalah.id – Salah satu keputusan fatwa yang dikeluarkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017 di Pesantren Kebon Jambu Cirebon, adalah mewajibkan seluruh institusi untuk melindungi anak dari pernikahan anak, baik institusi keluarga, masyarakat, ormas Islam, terutama negara.
KUPI juga merekomendasikan agar negara segera mengadopsi batas usia yang lebih tinggi dari 16 tahun bagi perempuan, menjadi minimal sama dengan UU lain, yaitu 18 tahun. Rekomendasi ini diterima Pemerintah dengan adanya revisi UU perkawinan.
Pertimbangan utama KUPI, di samping ayat al-Qur’an, Hadis, dan berbagai UU terkait perlindungan anak, adalah tujuan pernikahan (maqashid al-syariah fi al-nikah). Yaitu menciptakan kehidupan rumah tangga yang saling membahagiakan (sakinah, mawaddah, dan rahmah), yang sulit tercapai oleh mempelai yang masih di usia anak.
Sebaliknya, pernikahan mereka malah mendatangkan berbagai kemudaratan psikologis, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Atas dasar kaidah menghindari keburukan (daru al-mafasid), KUPI memutuskan mewajibkan seluruh institusi untuk melindungi anak dari praktik pernikahan.
Mental Anak Tidak Stabil
Seseorang yang menikah di usia anak, terutama perempuan dengan tanggung jawab sebagai istri akan keluar dari program wajib belajar. Hal tersebut akan menyebabkan ia tidak memiliki keterampilan untuk bekerja. Sehingga sulit mengakses sumber ekonomi dan membuatnya menjadi miskin, mentalnya tidak stabil.
Bahkan beresiko terhadap problem-problem medis dan sosial, yang kemudian akibatnya harus masyarakat dan negara yang menanggungnya. Beban negara menjadi berat karena menghadapi anak-anak yang mental dan intelektualnya lemah. Serta akan melahirkan anak-anak yang lemah secara fisik, mental, maupun intelektual.
Fondasi moral dari pernikahan yang digariskan Nabi Muhammad Saw., dan lima pilar yang diajarkan al-Qur’an, tidak bisa diterapkan kedua mempelai pernikahan anak.
Karena usia yang belum matang, sementara tantangan kehidupan berkeluarga semakin besar dan nyata. Kita perlu meneladani prinsip dari kehidupan Nabi Saw., yang membuat kita lebih bertanggung jawab, bisa menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan. Baik untuk anggota keluarga kita, masyarakat, maupun bangsa. []