Mubadalah.id – Pandangan umum yang ada dalam pesantren terhadap perempuan sangat paradoks.
Di satu sisi tidak jauh beda dengan pandangan kitab-kitab kuning/klasik yang menunjukkan posisi subordinat perempuan di hadapan laki-laki.
Di sisi lain para kiai memang sering menyampaikan pandangannya bahwa kaum laki-laki dan perempuan adalah makhluk Allah yang sama kedudukannya.
Yaitu sama-sama berkewajiban melaksanakan ibadah dan melakukan amar ma ruf nahi munkar (menyerukan kebaikan dan menghindari keburukan).
Juga sering dikemukakan bahwa laki-laki dan perempuan berkewajiban menuntut ilmu, yang ini sejalan dengan hadits Nabi:
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan.”
Perbedaan aturan untuk santri perempuan dan laki-laki, sebagai salah satu contoh paradok pandangan kiai terhadap perempuan di pesantren, merupakan implementasi dari sebagian doktrin fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab klasik.
Secara umum dapat kita katakan bahwa pandangan kitab fiqh adalah jelas kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki.
Ini bukan hanya terdapat dalam fiqh madzhab Syafi’i, tetapi juga hampir semua mazhab dalam Islam.
Rujukan utama dari pandangan ini adalah ayat Al-Qur’an, dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 34:
Laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, karena Tuhan telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena laki-laki memberikan nafkah.
Sebuah kitab ushul fiqh klasik yang santri pelajari di pesantren, a-Asybah wa an-Nazhair, menghimpun sejumlah perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan gendernya.
Beberapa di antaranya air kencing bayi perempuan yang belum makan selain air susu ibu (ASI), harus kita siram dengan air.
Sementara untuk bayi laki-laki cukup kita percikkan, dalam shalat berjama’ah posisi shaf (barisan) perempuan berada di belakang laki-laki.
Lalu perempuan sama sekali tidak boleh menjadi mu’adzin (orang yang menyerukan shalat), dan lainnya.*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.