“Hidup, mati, rizki dan jodoh di Tangan Tuhan. Begitu banyak orang berkata. Ini sepenuhnya benar. Tuhanlah yang menentukan segalanya. Tetapi apakah dengan begitu manusia pasrah saja, tawakkal. Apakah manusia tak perlu berusaha dan bekerja untuk bisa tetap hidup sehat, punya rizki yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan memiliki pasangan hidup yang membahagiakannya?
‘Umar bin Khatthab pernah mengatakan kepada orang-orang yang memahami tawakkal sebagai pasrah kepada Tuhan sepenuhnya tanpa harus bekerja atau berusaha (kasab):
ان السماء لا تمطر ذهبا
“Inna al-Sama-a La Tumthiru Dzahaban wa La Fiddhah” (Tuhan tidak akan menurunkan emas atau perak dari langit).
Ucapan ini mengandung makna bahwa rizki, begitu juga sehat dan jodoh, tidak bisa diperoleh dan dihasilkan hanya dengan mengandalkan atau menunggu pertolongan Tuhan semata atau mengharapkan pemberian dan belas kasih orang lain, melainkan harus dicari melalui usaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh.
لا تكونوا كلا علی الناس
“Janganlah kalian jadi beban orang lain”.
Ibn Athaillah al-Sakandari mengatakan :
ارادتك التجريد مع اقامة الله إياك فى الاسباب من الشهوة الخفية
“Keinginanmu untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada usaha (kerja) mu saat Tuhan masih menghendakimu berusaha/bekerja, adalah keinginan yang menyembunyikan hasrat”.
Para ulama besar dan kaum sufi selalu menekankan pentingnya bekerja atau memiliki pekerjaan. Mereka sendiri juga terlibat dalam usaha perdagangan, pertanian, perkebunan, peternakan, menjahit, bertenun dan pekerjaan-pekerjaan yang yang sesuai dengan masanya.
Abû Hanîfah dikenal sebagai al-Bazzaz, pedagang kain. Ia mempunyai toko dan melayani sendiri. Pada saat-saat tidak ada pembeli, Abû Hanîfah mengisi waktunya dengan membaca buku/kitab atau memberi fatwa. Fatwa adalah jawaban atas pertanyaan orang lain tentang suatu masalah atau hukum.
Sari al-Saqathî, seorang sufi besar (w.255H/871M) adalah seorang saudagar bangunan di pasar. Abû al-Qâsim al-Junaidî (w. 295H/910M) memiliki toko pemotong kaca dan melayani sendiri para pembelinya. Abû Husain al-Nûri pernah menceritakan tentang sosok al-Qursyairî (w. 465H/1072M), sufi besar dan penulis buku Tasawuf terkenal Risâlah al-Qusyairiyah. Katanya:
“Setiap pagi ia (al-Qursyairî) berangkat dari rumahnya menuju tokonya dan membeli beberapa potong roti di tengah jalan. Ia memberikan sebagian roti yang dibelinya tersebut untuk disedekahkan kepada orang yang memerlukannya. Menjelang shalat zhuhûr ia pergi ke masjid untuk menunaikan kewajiban beribadah kepada Allah. Setelah itu ia kembali lagi ke tokonya. Tidak banyak orang yang tahu bahwa setiap hari ia berpuasa. Para pedagang yang lain menyangka bahwa ia telah sarapan atau makan di rumahnya. Sementara orang rumah menduga ia sudah makan di pasar. Selama dua puluh tahun ia melakukan pekerjaan seperti itu.”
Ibnu Khafîf memberitahukan kepada kita: “Pada masaku kebanyakan para guru sufi memiliki pekerjaan sebagai penghidupan (penopang hidup) mereka. Aku sendiri belajar memintal benang. Hasilnya aku jual di pasar untuk menghidupi keluargaku”. (Warisan Sufi, I/8).
Nabi Muhammad saw pernah mengatakan: “Wa lâ takûnu Kallan ‘alâ al-Nâs” (janganlah kamu membebani orang lain). Ketika Nabi bersama sahabat-sahabatnya melakukan sebuah perjalanan perang di luar kota, mereka melihat seorang pemuda dengan tubuh yang kekar tengah mencangkul di sawah.
Salah seorang sahabat bergumam sendiri: “Andaikata saja ia kita tarik untuk ikut perang bersama kita”. Nabi mendengar gumaman tersebut lalu memberi komentar: “Jika ia bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya maka ia adalah Jihad fi sabilillah, berjuang di jalan Tuhan, sama seperti kita.” []