• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Parameswari: Kiprah dan Peran Perempuan di Lingkungan Keraton Yogyakarta

Kisah Parameswari mengajarkan pada kita bahwa label patriarkhi yang sangat kuat pada perempuan Jawa tidaklah sepenuhnya benar

Kholifah Rahmawati Kholifah Rahmawati
25/11/2024
in Pernak-pernik
0
Parameswari

Parameswari

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Mengusung tema kiprah dan peran perempuan di lingkungan Keraton, Keraton Yogyakarta menyelenggarakan sebuah pameran bertajuk “Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta”. Pameran tersebut dapat kita saksikan di Kompleks Kedhaton Keraton Yogyakarta mulai 6 Oktober 2024 – 26 Januari 2025.

Melansir dari sistus resmi keratonjogja.id, GKR Bendara yang merupakan salah satu putri keraton Yogyakarta, sekaligus ketua panitia pameran menuturkan: “Pameran ini merupakan perayaan maupun perlawanan untuk menjawab kondisi privat dan publik bagi perempuan. Kemudian juga menjadi tawaran baru bagi perempuan yang dikisahkan, dengan meminjam narasi Prameswari untuk memberi sumbangsih atas kesadaran sosial bagi perempuan dan masyarakat secara umum.”

Sebagai salah satu pengunjung yang merasa beruntung untuk dapat menyaksikan pameran sepektakuler tersebut, saya ingin membagikan sedikit pengalaman, sekaligus merangkum beberapa point penting yang saya dapatkan selama berkunjung di pameran.

Term Parameswari

Kata Parama dalam bahasa jawa bermakna linangkung yang berarti kelebihan. Sedangkan iswari bermakna luhuring estri yang artinya adalah perempuan utama. Sehingga secara terminologi Parameswari dapat kita artikan sebagai linangkung luhuring estri atau lebih dari perempuan yang utama.

Terminologi Parameswari telah ada sejak lama dari masa Jawa kuno. Julukan ini biasanya tersematkan pada perempuan yang berhasil menduduki takhta sebagai Ratu. Beberapa nama Ratu dari kerajaan Majapahit dan Mataram Kuno menyandang gelar ini seperti, Tribhuwana Tunggadewi, Ratu Suhita dan Pramodhawardhani.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Term Parameswari kemudian terwariskan pada masa pemerintahan Mataram Islam sebagai julukan atas sakti atau pasangan dari Raja yang bertakhta. Gelar Parameswari kemudian terpelihara dengan rasa dan konteks yang serupa di Keraton Yogyakarta.

Ruang Imersif (cerita pengerdilan perempuan)

Pameran ini terbagi dalam sembilan babak kisah para permaisuri Keraton Yogyakarta. Dengan mengusung background serba pink yang lekat dengan nuansa feminis, selama pameran akan mengajak kita mengenal para Permaisuri Keraton Yogyakarta beserta kiprah mereka yang mampu melampaui zaman.

Pada bagian pertama, pengunjung akan diajak memasuki ruang imersif yang meceritakan pengerdilan perempuan. Nuansa ruagan yang gelap dengan sorot tulisan proyektor yang langsung mengenai tubuh, mengajak kita untuk merasakan adanya banyak label serta stereotype yang menempel pada tubuh perempuan. Label-label tersebut telah mengurung mereka pada ruang gelap yang terbatas.

Melampaui Pias (Batasan)

Keluar dari ruang imersif, pengunjung akan diajak untuk melampaui pias (batasan) melalui kisah GKR Kadipaten dan GKR Sultan. Keduanya bertindak melampaui batas kenormalan yang terdesain untuk perempuan ningrat pada masa itu. Mereka keluar dari kostruksi ayu dan menawan serta mematahkan stigma atas definisi Raden Ayu Boneka yang bodoh.

Riwayat GKR Kadipaten sebagai permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono I yang begitu andal dalam keprajuritan Langenkusuma dan kesenian melalui perangkat gamelan Kanjeng Nyai Marikangen.

Tentu riwayat ini menjadi bukti bahwa perempuan mampu berada pada ranah militer hingga ideologis secara bersamaan dalam hidupnya. Sementara GKR Sultan adalah perempuan yang berperan sebagai diplomat atas kembalinya Sri Sultan Hamengkubuwono II dari pengasingan di Saparuna ke Yogyakarta.

Kuasa Politik

Perjalanan selanjutnya pengunjung akan terarahkan ke gedung Sarang Baya. Di sana kita akan disambut oleh sosok GKR Kencono HB III. Sosoknya mewakili kuasa politik perempuan yang  terejawantahkan melalui kacu abrit.

GKR Kencono merupakan sosok perempuan berdaya di balik ketegaran Sri Sultan Hamengkubuwono III, sekaligus teladan bagi putranya Sri Sultan Hamengkubuwono IV. Ia bukan hanya berdaya dan berakal, namun juga berkuasa di ruang politik yang begitu keras.

Sosok GKR Kencono juga mematahkan stigma naluriah perempuan yang lemah dan kurang akal. Baginya tidak ada pilihan, selain terus berlaga meski tidak memiliki tombak.

Prakarsa dan Penaja

Setelah dipertunjukan sisi kegagahan tiga permaisuri sebelumnya dalam bidang politik dan militer, kini pengunjung akan tersuguhkan keanggunanan Para permaisuri Keraton Yogyakarta yang tertuang dalam bentuk karya seni dan sastra.

Di sini Permaisuri berperan sebagai sosok prakarsa (inisiator) dan peneja (sponsor). Adalah GKR Kencono HB VI dan GKR Hageng yang merupakan para permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono VI, yang telah menyumbang banyak gagasan sekaligus karya dalam dunia mode dan sastra.  Buah karya berupa batik, perhiasan tari, serta manuskrip sastra merepresentasikan keduanya  sebagai permaisuri pencipta tren busana sekaligus penggagas ilmu pengetahuan.

Dalam ruangan ini juga dipertunjukan profil para putri Keraton Yogyakarta yang menjadi bunga elok nan harum bagi para bupati dan pangeran, hingga menduduki posisi permaisuri Susuhunan Paku Buwono X dan Adipati Mangkoenagoro VII.

Dominasi Moneter

Melangkah lebih jauh, kita akan dipertunjukan sosok perempuan yang mampu mengambil dominasi dalam pengelolaan keuangan negara. Anggapan perempuan sebagai pengatur keuangan yang handal ternyata benar adanya. GKR Kencono HB VII telah mengabsahkan statement tersebut bahkan melampauainya.

Tidak  terbatas dalam ranah domestik, andil Sang Permaisuri dalam mengelola keuangan bahkan mencakup sektor kapita industri gula, simpan-pinjam, hingga tata busana bagi seluruh keluarga Keraton.

Selain sebagai pengelola keuangan, GKR Kencono juga merepresentasikan sosok ibu dan istri yang setia serta berdedikasi. Sebagai Permaisuri ia turut menemani Sultan mandeg pandhita (demisioner) dari kekuasannya.

Mengambil multiperan sebagai sosok Ratu, Ibu, Istri, sekaligus pengelola keuangan, bagi GKR Kencono merupakan sebuah pilihan bukan kewajiban. Tanggung jawab yang ia emban merupakan pilihan yang ia ambil secara sadar. Bukan paksaan seperti beban ganda yang seringkali harus diterima perempuan tanpa kompromi.

Dedikasi dalam Kebaikan

Menutup langkah ruang pameran, Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X dikisahkan dalam empat figur. Baik itu sebagai seorang Permaisuri, Ibu, Politikus, sekaligus advokat sosial.

Bertakhta sebagai permaisuri Sultan Yogyakarta tidak lantas mendudukkan GKR Hemas pada ruang gerak yang terbatas. Menjadi permaisuri justru Sang Ratu maknai sebagai hak istimewa untuk lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Pribadinya yang gigih namun penuh rasa keibuan, membuat GKR Hemas menjadi sosok multiperan. Tak hanya sebagai permaisuri peneguh adat di lingkungan keraton, GKR Hemas juga menjadi ibu pelindung bagi para perempuan korban kekerasan melalui Rekso Dyah Utami. Tangan lembutnya juga mengulur pada bayi-bayi terlantar melalui Yayasan Sayap Ibu.

Sebagai senator GKR Hemas jugga banyak memperjuangkan kesetaraan di Parlemen. Ia mendayaupayakan seluruh kapasitasnya sebagai ratu dan senator publik untuk memberdayakan kaum termarjinal. Atas dedikasinya yang konsiten, GKR Hemas mendapatkan banyak apresiasi dan penghargaan dari berbagai pihak yang dapat kita saksikan di ruangan itu.

Parameswari meski tidak dapat mewakili seluruh perempuan pada zaman, namun kisahnya mengajarkan pada kita bahwa label patriarkhi yang sangat kuat pada perempuan Jawa tidaklah sepenuhnya benar. Keberadaan mereka menjadi bukti adanya dimensi lain dari kiprah dan peran perempuan yang tidak banyak menjadi pembicaraan dalam narasi sejarah. []

 

 

 

 

Tags: HerstoryHistoriografi PerempuanNusantaraParameswariperempuansejarah
Kholifah Rahmawati

Kholifah Rahmawati

Alumni UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan dan Mahasiswa di UIN Sunan Kalijga Yogyakarta. Peserta Akademi Mubadalah Muda 2023. Bisa disapa melalui instagram @kholifahrahma3

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version