Mubadalah.id – Dalam menjaga pelestarian lingkungan hidup maka seharusnya sudah menjadi kewajiban pemerintah (negara) untuk membangun, mengelola, serta menjaga pelestarian lingkungan hidup sebagai bentuk pemenuhan terhadap hajat hidup rakyatnya.
Hal ini adalah amanat agama dan konstitusi sekaligus. Namun, dalam membangun dan mengelola kepentingan umum, pemerintah harus selalu berorientasi pada kemaslahatan publik (al-mashlahat al-‘ammah).
Terlebih amanat ini sebagai pijakan dan dasar bagi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Karena kemaslahatan publik adalah sesuatu yang terbaik dan terpenting (al-aham) untuk kehidupan rakyat.
Kemaslahatan publik harus dijadikan landasan sekaligus parameter bagi seluruh kebijakan publik. Bagaimana cara mengukurnya? Tentu saja kemaslahatan itu harus diukur dan dikembalikan kepada publik untuk merumuskan dan menentukan kemaslahatan dirinya.
Partisipasi publik dalam perumusan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan publik untuk pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu keharusan. Tanpa partisipasi publik, suatu kebijakan sulit dapat kita sebut sebagai maslahat.
Imam Izzuddin ibn Abdissalam asy-Syafi’i dalam Qawa’id al-Ahkam fiy Mashalih al-Anam menjelaskan:
“Pasal tentang kebijakan (tasharruf) se[ez-toc]orang pemimpin atau penggantinya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan tentang jenis-jenis tasharruf (kebijakan), seorang pemimpin harus membuat kebijakan yang terbaik/paling maslahat (al-ashlah) buat rakyatnya. Yaitu, dengan menghindari madlarat dan kerusakan dan mengambil yang manfaat dan benar.”
“Pemimpin tidak boleh mengambil sebuah kebijakan yang baik sementara masih ada yang lebih baik lagi, kecuali ada halangan atau kendala untuk merealisasikannya (masyaqah syadidah).”
“Sesungguhnya adanya syariat untuk menetapkan kemaslahatan dan menyempurnakannya. Juga untuk menghilangkan dan meminimalisasi mafsadat (kerusakan).”
“Jika ada dua mafsadat yang salah satunya lebih besar, maka keduanya harus kita tinggalkan. Ini adalah bentuk pilihan penghilangan terhadap mafsadat. Namun, jika tidak mampu, maka kita ambil yang paling kecil mafsadatnya. Ini adalah pilihan untuk meminimalisasi mafsadat.” []