Pekan kemarin kaum santri baru saja merayakan Hari Santri Nasional, yang dihelat ke empat kalinya di tahun ini. Bersamaan dengan itu, hari ini diperingati pula sebagai Hari Sumpah Pemuda. Di mana ikrar yang telah diucapkan pada tahun 1928 silam, menjadi embrio lahirnya kemerdekaan Republik Indonesia.
Bagaimana pada masa itu pemuda mampu melakukan gerakan yang menjadi inspirasi seluruh anak negeri, tentang makna persatuan dan kesatuan sebagai satu entitas bangsa. Lalu bertahun kemudian, Indonesia merdeka dan para santri berjuang mempertahankan kemerdekaan itu melalui fatwa resolusi jihad 22 Oktober 1945.
Sejarah yang telah tertuliskan itu saling berkaitan dan menjadi catatan panjang perjalanan negeri yang bernama Indonesia. Kiprah kaum sarungan, Kiai yang tak lepas dari peran Ibu Nyai, dan sumbangsih para santri laki-laki yang juga melibatkan santri perempuan, telah menanamkan sifat kepahlawanan membela tanah air sebagai bagian dari keimanan.
Sebagaimana yang dikatakan Cendekiawan Muslim Indonesia, Nurcholis Madjid bahwa santri berasal dari kata “cantrik”, (bahasa sansakerta atau Jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Sedangkan versi lainnya menganggap kata santri sebagai gabungan antara kata “saint” (manusia baik), dan kata “tra” yang artinya suka menolong. Sehingga santri diharapkan mampu menjadi manusia baik yang suka menolong.
Maka untuk menggambarkan semangat pemuda ala santri, yang selain mempunyai sifat kepahlawanan, keberanian dan kekuatan untuk menyatukan perbedaan, juga setidaknya memiliki karakter manusia baik yang suka menolong. Di mana sifat-sifat yang seperti itu mulai langka kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena ada sekelompok orang yang mengaku sebagai santri namun ia tak mau membumi. Memandang bahwa selain dirinya adalah “liyan”, atau orang lain yang dianggap tak sama, dan tak perlu dibela. Yang “liyan” itu adalah golongan minoritas, anak negeri yang punya hak sama tinggal di negara sendiri.
Maka bagi pemuda hari ini perlu merefleksikan semangat sumpah pemuda, yang mengaku berbangsa, berbahasa dan bertumpah darah satu yakni Indonesia, lantas kemudian diimbangi pula dengan ghirah santri yang tetap mengedepankan sikap Islam Aswaja Annahdliyah yakni tawasuth (moderat), tidak ekstrim kiri maupun kanan, serta tidak berlebih-lebihan.
Lalu sikap tawazun yakni menggunakan pertimbangan berbagai sudut dalil naqli dan aqli, kepentingan pribadi-umum, kewajiban dan hak. Selain itu I’tidal yakni integritas, konsisten, tegak lurus, ajeg, istiqomah dalam kemaslahatan, baik dalam sepi maupun ramai, di kehidupan pribadi, keluarga maupun sosial.
Kemudian tasamuh (toleran) yaitu bersikap arif dan positif melihat perbedaan sehingga santri mampu memandang persamaan sebagai perekat, dan keragaman merupakan rahmat yang memperkuat, serta sensitif terhadap kebutuhan mereka yang berbeda.
Selanjutnya Musyawarah (tasyawur), yakni santri menjadi media dan budaya mendengar serta merumuskan kemaslahatan dalam beragam sudut pandang serta kepentingan bersama. Sehingga diharapkan ke depan pemuda ala santri akan menjadi idaman seluruh negeri, karena mampu menjaga NKRI dengan sepenuh hati, dengan segenap nyawa, serta seluruh jiwa dan raga untuk tetap bersetia pada Indonesia tercinta.