Mubadalah.Id- Berikut ini akan membahas tentang pendidikan perempuan pasca pernikahan. Pembicaraan tentang perempuan memang selalu menarik. Tidak hanya perempuan sebagai individu dan pribadi utuh, yang dapat memberikan sumbangsih kemajuan terhadap peradaban dan tatanan masyarakat.
Tetapi juga tentang bagaimana perempuan, sejak zaman dahulu hingga sekarang, dipandang oleh sebagian masyarakat kita sebagai makhluk nomor dua setelah lelaki. Bahkan, sebagian yang lain meyakini bahwa perempuan serupa barang pemilikan dan tidak memiliki kedirian. Benarkah demikian? Apa dasarnya? Apakah benar bahwa derajat perempuan lebih rendah dari lelaki?
Faqihuddin Abdul Kodir, dalam bukunya Qiraah Mubadalah menyatakan bahwa tersebarnya teks hadist (lemah dan palsu) tentang keburukan dan kelemahan perempuan, diyakini oleh banyak orang sebagai bukti superioritas laki-laki dan sebaliknya inferioritas perempuan.
Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa perempuan dianggap tidak memiliki kedirian. Bahwa pandangan dan pendapat perempuan tidak penting untuk didengar apalagi diikuti. Pendidikan dan keahlian tulis-menulis juga tidak perlu diajarkan kepada perempuan.
Dan bahwa perempuan terbaik adalah perempuan yang tidak melihat dan tidak dilihat laki-laki. Sialnya, semua hal tentang inferioritas perempuan tersebut terekam dalam alam bawah sadar banyak umat Islam dan dianggap sebagai bagian dari ajaran agama.
Maka, tidak heran jika kemudian mengakar istilah, dapur sumur dan kasur bagi perempuan. Saya yakin Anda pernah mendengarnya. Sebuah semboyan atau falsafah yang diyakini oleh sebagian masyarakat kita sebagai kodrat dan nasib perempuan.
Falsafah dapur, sumur dan kasur ini oleh sebagian kalangan masihlah dipegang kuat dan secara sadar diwariskan kepada generesi-generasi berikutnya. Saya tidak mengatakan bahwa keyakinan tersebut adalah keyakinan busuk yang secara terselubung menistakan kemanusiaan perempuan.
Karena memang, sejatinya peran perempuan, secara kodrati tidak bisa dilepaskan dari tiga hal tersebut. Namun, tidak bisa dibenarkan juga apabila keyakinan ini kemudian menjadi belenggu bagi perempuan sehingga muncul keyakinan bahwa perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan tinggi, perempuan tidak perlu menguasai ilmu agama atau ilmu lainnya, dan bahwa perempuan tidak perlu aktif dalam kancah pergaulan sosial.
Kayakinan tersebut adalah keyakinan yang salah kaprah dan cacat logika. Bahkan, jika pun perempuan hanya berjibaku dengan tiga peran sebagaimana disebutkan sebelumnya, ia tetap membutuhkan ilmu pengetahuan dalam merealisasikan perannya. Tidak selalu untuk tujuan-tujuan tertentu yang berhubungan dengan tuntutan profesionalitas.
Menjadi ibu rumah tangga pun membutuhkan skill, kemampuan mengolah emosi, manajemen waktu, manajemen keuangan, manajemen kesabaran, dan lain sebagainnya yang lebih kompleks.
Dan pastinya, semua itu tidak bisa dipenuhi jika perempuan dijauhkan atau sengaja menjauh dari ranah pendidikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dian Sastrowardoyo, pemeran Kartini dalam film KARTINI; bagaimanapun perempuan harus berpendidikan sebab kelak ia akan menjadi seorang ibu.
Dan berbicara tentang pendidikan perempuan paska pernikahan, saya ingin berkisah tentang seorang kawan yang beberapa waktu lalu menghubungi saya melalui chat whatsapp. Sebut saja namanya, Dian, bukan nama sebenarnya. Seorang ibu rumah tangga dimana kami mengenal satu sama lain sejak duduk di bangku kuliah.
Dan sepanjang obrolan kami siang itu, Dian meminta dukungan dan motivasi dari saya agar bisa menjalani hari-harinya yang terasa berat dan menyiksa. Bagi saya, Dian adalah sosok perempuan sederhana yang bersahaja. Saya mengetahui detail bagaimana dulu seorang lelaki melamar dan kemudian resmi menjadi suaminya. Bagi kawan saya ini, yang tidak neko-neko, kriteria seorang suami hanya satu: saleh.
Maka dengan modal kesalehan suaminya itu juga Dian meninggalkan keluarga besarnya di Jakarta dan mengikuti suaminya untuk berdakwah di berbagai daerah dan pulau di Indonesia. Ia pun menjalani hari-harinya sebagai seorang ibu rumah tangga, murni ibu rumah tangga, mengasuh anak-anak dan mendampingi suaminya yang jadwal pengajian dan taklimnya semakin padat dan penuh.
Dalam rentang delapan tahun itu, mereka dikaruniai empat anak. Pertanyaan Dian kala itu yang membuat saya berkeinginan menulis lebih jauh tentang pendidikan bagi perempuan pasca pernikahan;
“Kak, menurut Kakak, kalau saya ingin datang ke majlisnya suami, apa perlu minta izin dulu ke dia?”
Bukan makna tersurat dari pertanyaan itu yang ingin saya bahas dalam tulisan saya ini. Tetapi lebih kepada makna tersiratnya. Bagaimana sebuah rumah tangga itu dibangun tidak hanya oleh seorang lelaki ataupun seorang perempuan.
Adalah lelaki dan perempuan yang bekerja sama dan saling melengkapi sehingga terbina suatu kesalingan yang harmonis dalam bangunan rumah tangga yang dibinanya. Pertanyaan Dian, memunculkan berbagai pertanyaan lain di kepala saya. Tentang bagaimana selama ini komunikasi terjalin di antara keduanya, tentang bagaimana keduanya memandang urgensi pendidikan baik bagi suami, maupun istri.
Sangat disayangkan jika seorang lelaki, dalam hal ini adalah suami, memiliki begitu banyak majelis yang harus dibina, jamaah yang harus dibimbing, pertanyaan-pertanyaan seputar keagamaan yang harus dijawab, namun ia lalai dan abai akan pendidikan istrinya, perempuan yang nyaris separuh hidupnya diabdikan kepadanya.
Pendidikan di sini tidak melulu berupa informasi-informasi atau pengetahuan yang didapat melalui forum-forum formal. Pendidikan bisa berupa bimbingan suami kepada keluarga, uswah sebagai imam yang baik dan bertanggung jawab bagi istri dan anak-anak.
Bimbingan bisa diberikan melalui diskusi-diskusi ringan tentang berbagai hal, baik isu-isu agama, politik maupun sosial lainnya. Atau jika memungkinkan, pendidikan bisa diberikan dengan cara memfasilitasi istri dengan berbagai bacaan yang bermanfaat untuk menambah wawasannya.
Ada banyak cara memberikan dukungan kepada perempuan dalam upaya meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuannya sebagai keterampilan dalam mengelola dan mengatur rumah tangga. Namun sayangnya, bagi sebagian pasangan, hal demikian dirasa kurang perlu dan terlupakan begitu saja.
“Doakan Dian ya, Kak. Semoga Dian kuat sanggup menata hati. Kuat menjalani semua ini dengan ikhlas dan sabar.”
Tahukah Anda dampak paling buruk dari pendidikan yang lemah? Khusus untuk kasus Dian, dampak itu sangat berat dan menyakitkan. Suaminya memilih poligami. Ketika saya tanyakan alasannya kepada Dian, dengan sederhana ia menjawab bahwa poligami adalah hak lelaki.
Dengan makin cemerlangnya karir sang suami, seolah lelaki itu membutuhkan sosok lain, perempuan lain, yang sanggup memberi motivasi dan dukungan sesuai level keilmuannya yang terus berkembang. Dan Dian merasa tidak mampu memenuhi kriteria itu. Ia tidak memiliki pilihan ketika suaminya memutuskan untuk menjalin hubungan sah dengan wanita lain.
Apakah Dian salah? Bukankah saat mereka menikah dulu keilmuan dan pengetahuan mereka sepadan? Dan setelah mendampingi lelakinya sekian tahun, setelah semua hal berubah kecuali pendidikan istri yang mampet dan stagnan lantas lelaki merasa kedudukan mereka tak lagi sepadan? Siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan istri pasca pernikahan?
Menjadi perempuan adalah istimewa. Lembut tetapi keras. Keras tetapi rapuh. Rapuh tetapi kuat. Kuat tetapi lemah. Menjadi perempuan tidak cukup hanya mengoptimalkan kecantikan paras, kebaikan laras, dan kemandirian finansial.
Namun juga harus memiliki kesiapan mental-spiritual, menjadi tonggak, menjadi pencetak, merekatkan dan mengokohkan, menjadi madrasah, menjadi rumah, menjadi sahabat, menjadi kekasih, menjadi bumi. Dan bahwa semua itu hanya akan terealisasi dengan ilmu dan pengetahuan yang mumpuni. \
Demikian penjelasan tentang pendidikan perempuan pasca pernikahan. Semoga pendidikan perempuan pasca pernikahan bermanfaat. []