Mubadalah.id – Beberapa minggu lalu, saya lari pagi, kegiatan yang cukup rutin saya lakukan sejak pandemi. Kemudian saya bertemu tetangga di jalan, dia berkomentar “Kok masih lari, makin kurus nanti” hingga dua kali. Saya menjelaskan padanya bahwa tujuan saya olahraga adalah untuk menjadi sehat. Sebagian orang memang masih menganggap bahwa tujuan olahraga adalah menjadi lebih kurus, padahal bisa juga untuk menambah berat badan.
Saya membagi pengalaman ini di Instagram Story. Kemudian ada teman saya yang bercerita tentang komentar orang lain pasca mereka melahirkan. Teman saya P, merasakan perubahan bentuk tubuh pasca melahirkan sehingga dia berusaha berolahraga dan menjaga pola makannya agar tubuhnya lebih sehat. Tapi dia mendapatkan komentar “gak usah diet-diet lah, kan udah kurusan, lagian masih menyusui”.
Selain itu, teman saya A, mendapatkan komentar “Wah kamu tambah gemuk ya, bagian pinggul terutama”. Perubahan tubuh pasca melahirkan tentu saja normal, apalagi dia sedang menyusui anaknya. Kemudian dia juga mendapatkan komentar dari teman perempuannya, yang mengatakan bahwa payudaranya akan kendur jika menyusui anaknya. Temannya ini memberikan susu formula pada bayinya karena takut payudaranya akan kendur jika memberikan ASI.
Dia juga mendapatkan komentar dari atasannya (laki-laki), “badanmu tambah gemuk”. Ketika dia mengatakan bahwa dia bahagia dengan tubuhnya, atasannya kembali merespon “Gemuk bukan tanda bahagia, pola hidupnya diperbaiki”. Tidak cukup di situ, atasannya itu juga mengatakan “wajahmu kok tambah kusut, gak bercahaya, tambah jelek”. Temannya yang lain sampai menangis karena atasannya ini berkomentar serupa.
Komentar-komentar semacam ini, bukan hanya termasuk body shaming atau mempermalukan dan mengejek bentuk tubuh seseorang. Tapi secara luas adalah bentuk pendisiplinan tubuh.
Pada kelas Gender, Tubuh dan Seksualitas, Mbak Mia Siscawati (dosen saya) menjelaskan mengenai ini. Dalam perspektif feminis, pendisiplinan tubuh adalah adanya norma yang mengatur tentang tubuh dan fungsi dalam tubuh (reproduksi) yang mengikuti norma dengan berbagai praktik yang bisa jadi si pemilik tubuh tidak menyukainya.
Pendisiplinan tubuh ini terjadi pada laki-laki dan perempuan, meski pendisiplinan tubuh pada perempuan lebih kompleks dan panjang dari pada laki-laki. Praktik female genital mutilation (sunat perempuan) adalah salah satunya. Selain itu, pendisiplinan tubuh saat menstruasi dengan mengasingkan perempuan, memberikan mereka tanda merah di bibir, dan praktik kejam lainnya.
Dalam masyarakat modern, pendisiplinan tubuh bisa dilakukan dengan berbagai macam dengan mengakar kuat pada peran gender yang membagi feminin dan maskulin. Tubuh perempuan yang ideal itu syaratnya adalah kurus, tidak berotot, cantik, tidak boleh bau, kulit cerah, dll. Ada kelindan antara standar kecantikan, pendisiplinan tubuh dan peran gender di sini. Termasuk bagaimana tubuh perempuan yang ideal pasca melahirkan.
Padahal perubahan hormon, fungsi tubuh dan bentuk tubuh saat perempuan hamil, melahirkan, hingga menyusui itu normal dan wajar. Tubuh perempuan membutuhkan banyak asupan gizi dan energi untuk menjalankan fungsi reproduksi, sosial dan psikologisnya sebagai dirinya sendiri, istri, ibu, pekerja, dan multi peran lainnya.
Menurut Simone de Beauvoir, individu akan diterima pertama kalinya atau hal yang dipertimbangkan oleh orang lain adah tubuh seseorang tersebut. Dia menjelaskan bahwa pembanding perempuan dan laki-laki adalah perspektif kita, yaitu mengenai dimensi biologis yang mempengaruhi manusia.
Beauvoir menyebutkan konsep tubuh dan liyan (the body and others), konsep keliyanan dalam konsep tertentu, perempuan dianggap sebagai “yang lain” terkait tubuh dan pengalaman hidup dengan tubuhnya. Dalam masyarakat, kita akan cenderung mengikuti norma yang berlaku terkait tubuh, termasuk keputusan perempuan memiliki anak atau tidak, dan berapa jumlahnya.
Pada akhirnya, manusia, terutama perempuan, adalah tubuh-tubuh yang harus melakukan pendisiplinan tubuh sesuai norma. Body shaming, penghinaan dan komentar lainnya yang terkait tubuh, kecantikan dan reproduksi, adalah cara orang lain mengontrol tubuh kita. Sebagian orang akan mempertanyakan kapan kita akan memiliki anak, namun ketika kita sudah memiliki anak, tubuh kita tidak boleh berubah. Sebuah pendisiplinan tubuh yang tidak realistis.
Kenyataannya, setiap perempuan memiliki bentuk tubuh, pengalaman biologis, peran sosial, peran domestik dan kegiatan lain yang berbeda. Sebagian perempuan mungkin akan mudah kembali pada berat badannya sebelum hamil, namun sebagian lagi tentu tidak mudah. Namun kontrol atas tubuh perempuan dan adanya relasi kuasa, seperti yang dialami teman saya, adalah contoh nyata bagaimana tubuh perempuan menjadi urusan orang lain.
Pengalaman biologis hamil, melahirkan dan menyusui itu adalah proses panjang bagi perempuan. Bagaimana mereka menerima perubahan tubuh, ekonomi, psikologis dan peran sosialnya saja sudah penuh perjuangan. Komentar-komentar mempermalukan, merendahkan dan mengontrol tubuh perempuan akan menjadi beban tambahan yang dapat membuat perempuan menjadi insecure, menimbulkan self-criticism dan overthinking.
Tubuh perempuan adalah hak mutlak yang dimiliki perempuan sebagai titipan Tuhan. Tubuh adalah urusan personal bagi individu, yang tentu saja bukan urusan orang lain untuk mengaturnya. Manusia memiliki hak untuk mengatur tubuh dan kehidupannya sendiri. []