Mubadalah.id – Hari itu sehabis ashar di bulan Ramadan tahun 2020. Orang-orang di desa saya berhamburan keluar untuk mencari takjil. Saya memilih duduk di depan rumah menikmati suasana bulan puasa. Bapak-bapak membawa anak mereka menuju jalan besar, tempat dimana pedagang takjil menjajakan dagangan mereka.
Tidak terasa, satu jam berlalu. Sekarang sudah terdengar solawat dengan suara khas laki-laki dari masjid menjelang waktu berbuka. Tiba-tiba saya merasakan ada yang keluar dari vagina saya. Saya diam, mencoba lebih merasakan. Benar: sepertinya ini darah haid. Saya segera menuju kamar mandi.
Percikan darah di celana dalam saya membuat saya kecewa. Puasa hari ini harus berakhir karena sebuah darah yang tidak dikehendaki. Padahal waktu berbuka hanya tinggal hitungan menit. Saya harus mengganti puasa saya di hari ini. Saya diam lalu menarik nafas panjang. Saya mengambil tampon ke kamar lalu membalut vagina. Keluar dari kamar mandi, azan maghrib kemudian berkumandang. Saya yang batal puasa, makan bersama orang-orang yang membatalkan puasanya.
Sebagai perempuan, saya tahu bahwa banyak sekali perempuan di luar sana yang juga merasakan hal yang sama. Keluar darah haid hanya beberapa saat menjelang berbuka. Rasanya tentu kecewa. Saya sejujurnya bertanya-tanya: Tidakkah Allah tahu pengalaman perempuan ini? Beberapa orang mungkin akan mengatakan: gak perlu perhitungan sama Allah, tapi bukan di situ poinnya.
Saat saya mondok, tidak puasa karena menstruasi hampir sama saja dengan puasa. Kami tidak bisa makan seenaknya karena berusaha menghormati yang berpuasa. Sementara ruangan privat di pondok pesantren hampir tidak ada. Lagi pula, makanan selain di jam buka dan jam sahur sangat langka. Akhirnya, kebanyakan dari kami tidak makan sampai berbuka dan sahur.
Ketika pulang ke rumah, hal yang hampir sama terjadi. Saudara saya semuanya laki-laki, setiap hari mereka pasti berpuasa. Saya pun akhirnya seperti puasa. Tidak enak masak dan makan di depan mereka.
Pengalaman Perempuan harusnya menjadi landasan hukum
Ketika saya berada di pondok pesantren. Saya ingat betul, seorang Ustadz bercerita bahwa Imam Syafi’i bertanya ke banyak perempuan ketika akan membuat hukum tentang menstruasi. Hasil wawancara Imam Syafi’i lah yang akhirnya membuat kita membahas macam-macam warna darah menstruasi, lama waktu menstruasi dan konsekuensi hukumnya dalam kitab fiqih.
Dari cerita itu, saya mendapatkan kesimpulan bahwa untuk membuat sebuah hukum perlu sebuah pengalaman. Jika pembuat hukum tidak pernah mengalaminya, maka ia harus bertanya kepada yang mengalami.
Sejak tahun kemarin, saya membuat konten tentang “kebolehan perempuan berpuasa ketika bulan Ramadan” untuk mubadalah. Tahun pertama, konten itu dibuat dari artikel yang ditulis oleh KH. Faqihudin Abdul Kodir, tahun kedua, konten itu dibuat dari artikel Kyai Imam Nakha’i.
Kedua konten tersebut, sontak membuat jagat maya ramai. Sampai saat ini, komentar di media sosial Mubadalah penuh akan teks-teks yang menolaknya. Di website mubadalah sendiri, ada artikel sanggahan. Menariknya: hampir semuanya ditulis oleh laki-laki. Perdebatannya fokus pada teks hadist, al-Qur’an dan ijma’ Ulama. Pengalaman perempuan hampir tidak pernah diceritakan.
Memang mayoritas perempuan merasakan sakit ketika menstruasi datang. Saya juga merasakan sakit di tiga hari sebelum menstruasi dan dua hari pertama menstruasi. Di hari-hari itu, jika saya tidak kuat, saya memilih untuk tidak puasa. Namun bagaimana pengalaman perempuan lainnya? Perempuan yang 5 menit sebelum azan maghrib berkumandang mengeluarkan darah menstruasi? Perempuan yang tidak bisa berpuasa selain di bulan puasa? Atau pengalaman lain yang tidak pernah kita bayangkan?
Mayoritas Hukum Islam ditentukan oleh laki-laki
Beberapa perempuan di sekitar saya, memilih untuk ngotot berpuasa meskipun ia sedang menyusui anak kecil. Ketika ia memilih tidak berpuasa, ia harus menjelaskan terlebih dahulu bahwa anaknya sakit atau anaknya kurusan kepada setiap orang.
Saudara yang lain, memilih untuk tetap berpuasa saat menyusui karena hutang puasanya sudah terlalu banyak. Padahal bayinya lemas terus dan mudah sakit.
Memang terdapat banyak hukum tentang ini. Ada yang mewajibkan qadha (mengganti puasa di hari lain) dan ada yang mensyaratkan membayar fidyah (memberi makan orang miskin) saja. Namun narasi yang banyak ditemui adalah fidyah dibolehkan untuk orang tua renta dan orang sakit yang tidak memiliki kemungkinan sembuh. Padahal, banyak sekali perempuan yang lima tahun berturut-turut mengalami pengalaman reproduksi. Lalu bagaimana dengan mereka?
Kyai Imam Nakha’I dalam sebuah tulisannya mengatakan begini:
“Ada jenis Ha’id (wanita haid) yang disebut dengan Al Mutahayyiroh (secara bahasa bermakna perempuan yang bingung). Al Mutahayyiroh terjadi jika darah haid melampaui 15 hari, dan ia tidak bisa membedakan mana darah haid dan lainnya serta ia lupa kebiasaan siklus haidnya. Ada ulama yang menyatakan mengapa ia disebut Mutahayyiroh, yaitu karena ia membingungkan Ulama. Ulama sampai kebingungan untuk memastikan apakah itu darah haid atau lainnya”
Pertanyaannya, mengapa sampai ada Ulama yang kebingungan? Kemungkinan besar karena tidak melibatkan “pengalaman perempuan” di dalamnya.
Pengalaman perempuan dan Tinjauan Medis harus menjadi Pertimbangan
Beberapa orang mungkin akan menganggap saya “ngoyo” untuk membolehkan perempuan menstruasi berpuasa. Padahal saya hanya berharap perempuan memiliki akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dari hukum-hukum terkait pengalaman perempuan. Sebagaimana laki-laki mendapatkan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dari hukum-hukum yang terkait pengalaman mereka.
Dalam medis, perempuan menstruasi memang lebih baik tidak berpuasa karena ia sedang kehilangan banyak darah yang pada akhirnya bisa menyebabkan kelelahan ekstrem. Tidak cukup darah juga berarti tidak cukup oksigen, dan akhirnya nutrisi tidak dapat terbawa. Di masa menstruasi, hormon kortisol juga tinggi. Sementara hormon kortisol adalah pembawa sinyal untuk makan. Perempuan menstruasi butuh makan sehingga bisa mengganti darah yang keluar.
Pertanyaannya, jika perempuan haid sudah tidak mengeluarkan banyak darah, apakah ia boleh berpuasa? Pertanyaan ini tentu saja hanya bisa dijawab oleh mereka yang ahli dalam masalah kesehatan. Maka, saya sangat mendukung sekali para Ulama untuk memperhatikan pengalaman perempuan dan bukti-bukti medis ketika akan mengeluarkan fatwa.
Sebagian orang mungkin akan marah dengan usul ini. Tapi bukankah maqashid syari’ah kita bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta baik laki-laki maupun perempuan? Sehingga, fatwa-fatwa harusnya memiliki tujuan maqashid syariah ini. Islam juga rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya bagi sebagian populasi saja
Tentu saja, tulisan ini bukanlah fatwa, hanya sebuah usulan dan menceritakan pengalaman perempuan. Semoga tidak ada yang marah dengan membagikan cerita ini. Wallahu A’lam. []