Mubadalah.id – Pada tahun 2013 porsi gas alam mencapai sekitar 15 persen dalam bauran konsumsi energi final Indonesia (EIA, 2015). Pada tahun tersebut konsumsi tersebut mencapai sekitar 125,5 juta SBM untuk gas alan dan 47,8 juta SBM untuk LPG (ESDM, 2014). Konsumsi gas alam Indonesia sebagian besar untuk sektor industri.
Sementara itu, pada tahun 2013 impor LPG mencapai 3,3 juta ton, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2008 yang baru mencapai 0,4 juta ton.
Hal ini untuk mengimbangi kenaikan tajam kebutuhan LPG dalam negeri, sementara kapasitas produksi dalam negeri yang tidak mengalami kenaikan yang berarti (dari 1,7 juta ton pada tahun 2008 menjadi 2,0 juta ton pada tahun 2013).
Konsumsi LPG terus meningkat dari 15,7 juta SBM pada tahun 2008 menjadi 47,8 juta SBM pada tahun 2013 (ESDM, 2014).
Pasokan LPG, baik dari dalam negeri maupun impor, hampir seluruhnya ditujukan untuk sektor rumah tangga. Konsumsi LPG sektor ini sangat dominan.
Pada tahun 2013 LPG yang dikonsumsi mencapai 5.377 ribu ton (45,8 juta SBM), mencapai sekitar 45,985 dari seluruh konsumsi bahan bakar di sektor rumah tangga. Konsumsi ini merupakan kenaikan tajam.
Pada tahun 2008 konsumsi baru mencapai 1.592 ribu ton (16,052 dari seluruh kebutuhan sektor rumah tangga) (ESDM, 2014). Nampak jelas bahwa konversi minyak tanah ke LPG pada sektor ini menimbulkan dampak kebutuhan impor, karena kurangnya kemampuan pasok industri dalam negeri.
Konversi LPG ke Gas Alam
Dalam konteks kedaulatan energi, kenaikan impor ini mendesak untuk diatasi. Salah satu cara yang bisa dijalankan adalah konversi LPG ke gas alam.
Namun, Indonesia menghadapi tantangan pemenuhan peningkatan konsumsi domestik. Hal ini karena cadangan gas alam turun dari 170,1 TSCF pada tahun 2008 menjadi 150,39 TSCF pada tahun 2013 (ESDM, 2014).
Terdapat prediksi kebutuhan impor gas yang sangat besar, jika tidak memasukkan pemakaian gas unconventional. Jika ini terjadi, maka Indonesia akan menjadi nett oil and gas importer (ESDM, 2014).
Gas unconventional, meliputi CBM, shale gas, gas-hidrat, dengan baru CBM yang masuk tahap eksplorasi dengan tingkat sangat rendah.
Jika turunnya produksi gas nasional (diikuti dengan kenaikan impor gas) tidak dapat diatasi, sementara pasokan batu bara ditekan. Maka akan menimbulkan risiko kenaikan (kembali) ketergantungan terhadap BBM. Bahan bakar nabati dan listrik dari pembangkit berbasis energi terbarukan. Termasuk yang dimanfaatkan berbagai moda transportasi yang memberi harapan sebagai solusi tantangan ini.
Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 : tentang Energi mengamanatkan bahwa Pemerintah menyusun rancangan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN). KEN dan RUEN menetapkan berbagai capaian sebagai berikut:
Pertama, pada tahun 2025, peran energi baru dan energi terbarukan paling sedikit 23 persen dan pada tahun 2050 paling sedikit 31 persen sepanjang keekonomiannya terpenuhi.
Kedua, pada tahun 2025, peran minyak bumi kurang dari 25 persen dan pada tahun 2050 menjadi kurang dari 20 persen.
Ketiga, pada tahun 2025, peran batu bara minimal 30 persen dan pada tahun 2050 minimal 25 persen. Serta keempat, pada tahun 2025, peran gas bumi minimal 22 persen dan pada tahun 2050 minimal 24 persen.
Target 23 Persen di 2025
Target 23 persen energi terbarukan di tahun 2025 akan setara dengan energi dari 92,2 juta ton minyak. Hal ini terdiri dari 69,2 juta ton setara minyak berbentuk listrik serta sisanya energi bio dan CBM.
Sementara target 31,2 persen energi terbarukan di tahun 2050 akan sebanding dengan 315,7 juta ton setara minyak, dengan porsi listrik mencapai 236,3 juta ton setara minyak dan 79,4 juta ton setara minyak sisanya berupa energi bio dan CBM.
Ini mestinya merupakan penegasan bahwa Indonesia melakukan akselerasi peningkatan peran energi terbarukan untuk memperkuat kedaulatan negara dalam membangun secara berkelanjutan. Antara lain juga akan menghantarkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi global.
Indonesia memang masih akan tergantung secara signifikan pada batu bara dalam bauran energinya, paling tidak hingga tahun 2030.
Terkait dengan hal tersebut perlu terus kita perhatikan eksternalitas yang timbul akibat pemanfaatan besar-besaran batu bara tersebut. Yang berupa emisi karbon dan utamanya tantangan kompleks multidimensional di lokasi tambang yang mayoritas bersifat terbuka.
Perlu terus kita usahakan solusi terhadap tantangan akibat musnahnya secara permanen keanekaragaman hayati di banyak lokasi dan terhadap kawah-kawah besar bekas tambang. Peningkatan signifikan peran energi terbarukan dapat mengurangi laju eksploitasi batu bara yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah. []