Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA mejelaskan bahwa hukum perkawinan di Indonesia yang mengenal harta gono gini bukan berarti menafikan keberadaan harta istri.
Harta gono gini, kata Nyai Badriyah, diakui, harta pribadi pun diakui. Masing-masing memiliki tempat dan tidak perlu saling diperhadapkan.
Dengan merujuk pada norma fikih Islam dan fakta sosial keluarga di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan ijtihad kolektif ulama Indonesia mengenai tiga macam harta dalam perkawinan :
Pertama, harta bersama (gono gini), kedua, harta pribadi suami, dan ketiga, harta pribadi istri, masing-masing telah ada aturannya menurut hukum itu sendiri.
Dalam KHI, kata dia, secara eksplisit menyebutkan bahwa adanya harta bersama tidak menutup adanya harta milik masing-masing suami-istri.
Harta istri merupakan harta perolehan pribadi istri dan ia berkuasa penuh atasnya.
Demikian pula harta suami : harta bawaan, warisan, mahar, hibah, shadaqah, gaji, dan penghasilan pribadi istri adalah hak pribadi istri.
Suami tidak boleh menggunakan harta istrinya tanpa seizin istrinya, begitu pula sebaliknya, kecuali yang sudah menyepakti atau sudah jelas mengetahui bahwa pemilik harta pasti merelakan penggunaan hartanya oleh pasangannya.
Dalam fikih praktik seperti ini ada kaedahnya, yakni :
يجوز آخدْ ما ل الغير مع ظن رضا ه
Artinya : “Boleh menggunakan harta kekayaan pihak lain dengan dugaan kuat dia merelakannya.”
Meskipun demikian baik suami maupun istri sama-sama wajib menjaga harta bersama, harta pribadinya, maupun harta milik pasangannya dengan penuh tanggung jawab, baik di hadapan hukum negara maupun di hadapan Allah SWT. (Rul)