Mubadalah.id – Saya senang sekali mengecek cerita-cerita pada media sosial yang saya ikuti. Selain melihat kegiatan-kegiatan menarik para publik figur, melihat kesibukan orang-orang yang saya kenal dapat mengobati kerinduan saya pada mereka. Akan tetapi, salah satu status yang diunggah oleh rekan kerja saya beberapa hari yang lalu membuat saya khawatir.
Rekan kerja saya ini mengunggah foto dirinya dalam sebuah twibbon yang menolak legalisasi miras yang dipaparkan pada Lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021. Walaupun sudah dicabut, namun isi lampiran perpres tersebut tidak hanya dikeluhkan rekan kerja saya, tetapi juga teman-teman lainnya melalui media sosial mereka.
Setelah saya perhatikan, mereka didominasi oleh orang-orang intoleran yang mengatasnamakan Islam. Hal ini membuat unggahan twibbon rekan kerja saya menjadi suatu tindakan ceroboh yang mampu membahayakan citra tempat bekerja kami. Memang betul miras beralkohol yang memabukkan tidak boleh dikonsumsi umat Islam. Tapi apakah negara ini hanya dihuni oleh penganut agama Abrahamik yang terakhir saja?
Apabila rasa semangat ingin belajar dan menambah ilmu pengetahuan diutamakan, kaum intoleran seharusnya mampu membaca tiga poin pada lampiran ketiga Perpres Nomor 10 Tahun 2021. Penanaman modal industri minuman yang mengandung alkohol, anggur, dan malt disebut pada poin ke 31, 32, dan 33. Yang menarik dari ketiga poin tersebut adalah lokasi penanaman modalnya.
Penanaman modal ketiga jenis miras tersebut dapat dilakukan di Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua. Hal ini disertai dengan catatan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Apabila rekan kerja saya, beserta kaum intoleran berkedok Islam lainnya, mau membaca sebelum protes mungkin mereka akan sadar bahwa banyak dari mereka yang tinggal jauh dari lokasi-lokasi yang disebutkan lampiran Perpres tersebut.
Keempat provinsi yang diberikan kesempatan untuk menanam modal baru industri miras beralkohol didominasi oleh masyarakat nonmuslim. Hadirnya minuman beralkohol seringkali menjadi bagian dari tradisi dan ritual keagamaan yang mereka miliki. Ritual di gereja Katolik, misalnya, seorang Romo akan meminum anggur sebagai salah satu prosesi Perjamuan Kudus. Sehingga protes yang diajukan semakin menunjukkan nihilnya toleransi mereka yang mengajukan protes mengatasnamakan Islam.
Selain itu, jika mau berpikir kritis, mereka yang intoleran seharusnya paham bahwa Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua memiliki kebiasaan meminum minuman fermentasi. Tuak Bali, Suak NTT, Cap Tikus dari Sulawesi Utara, dan Swansrai Papua hanyalah beberapa minuman beralkohol yang sudah mewarnai kebudayaan Indonesia sejak lama. Upacara Bhuta Yadnya di Bali dan pesta Reba Ngada di NTT adalah dua contoh dari maraknya ritual adat di Nusantara yang disertai dengan minuman fermentasi.
Dengan dilegalkannya industri minuman beralkohol, justru negara memiliki kontrol untuk melindungi masyarakat dari alkohol oplosan yang membahayakan kesehatan. Selain itu, hukum yang mengikat juga dapat ditingkatkan pengawasannya untuk meredam konsumsi minuman keras secara berlebihan.
Adapun provinsi lain yang ingin menanam modal untuk industri minuman beralkohol, Perpres yang diributkan menyatakan bahwa izin tersebut dapat diproses melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal. Proses ini dapat diteruskan apabila sudah mendapat izin dari gubernur. Apabila hal ini yang diprotes oleh kaum intoleran, mereka jelas sudah terlambat. Hal ini dikarenakan tempat makan dan toko-toko yang menyajikan dan menjual minuman beralkohol sudah dapat ditemui sejak lama di berbagai tempat terutama di kota-kota besar.
Seolah-olah hidup di dalam tempurung, sikap abai para kaum intoleran menunjukkan kurangnya pengetahuan akan dunia di sekitar mereka. Mungkin mereka lupa bahwa sebagai umat Islam, kita wajib menambah wawasan dan menuntut ilmu. Selain itu, siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699).
Habluminannas Melawan Penyalahgunaan Minuman Keras
Lampiran Perpres yang menjadi masalah sudah dicabut oleh Presiden Joko Widodo. Namun, sebagai warga negara yang sudah paham pola pikir para petinggi di Indonesia, saya rasa tindakan tersebut bisa saja dilakukan hanya untuk membungkam pihak-pihak yang protes. Toh, yang disembunyikan hanya lampirannya saja. Izin pengembangan usaha masih bisa diteruskan mengingat Perpres ini bukan satu-satunya rangkaian peraturan mengenai minuman keras yang pernah diributkan di negara ini.
Lalu bagaimana dengan kekhawatiran akan pengaruh negatif minuman beralkohol? Menurut saya, kepedulian akan sesama manusia dapat menjadi kunci redamnya konsumsi minuman keras yang berlebihan. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan pola asuh dan pengawasan masyarakat yang baik. Tanpa memandang perbedaan agama dan etnis, habluminannas harus ditegakkan untuk melawan penyalahgunaan minuman keras.
Bagi mereka yang khawatir akan pengaruh miras bagi remaja, percayalah bahwa kunci anak yang jauh dari kenakalan selalu dimulai dari pola asuh orangtua yang baik. Orangtualah yang memiliki kewajiban utama membekali anak dengan wawasan dan ilmu agama.
Kalaupun ada umat Islam yang berada di provinsi-provinsi yang memiliki kebiasaan minum minuman fermentasi, justru di situ fungsi orangtua untuk mengajarkan kepada anak-anak mengenai keberagaman. Bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia beragama Islam saja. Ada manusia-manusia lain di sekitar mereka yang harus dihormati kepercayaan serta kebudayaannya.
Apabila ada yang bertentangan dengan agama Islam yang mereka anut, silakan hindari hal tersebut. Namun jangan sekali-kali memaksakan kepercayaan itu kepada orang lain. Karena tidak ada paksaan dalam beragama (QS al-Baqarah: 256) dalam Islam dan kita harus saling menghormati dan menegakkan kedamaian.
Selain itu, apapun agama dan latar belakang etnisnya, masyarakat harus mampu mempertegas konsumsi miras untuk keperluan adat saja. Adapun miras yang diperdagangkan haruslah dibatasi untuk pembeli yang berusia sesuai dengan ketentuan hukum. Sehingga, daripada mengandalkan pemerintah saja, masyarakat sebaiknya bersatu dalam mengendalikan penjualan serta konsumsi miras di sekitar mereka.
Sikap bahu-membahu dan bergotong royong meredam penyalahgunaan miras lebih baik daripada sekedar berteriak mengatasnamakan Islam dan mengacuhkan saudara sebangsa lain yang berusaha melestarikan budaya mereka. Keputusan pemerintah memang tidak selalu dapat diandalkan untuk kesejahteraan masyarakat secara merata. Akan tetapi, sebagai umat Islam kita diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (QS: al-Hujurat:13). Jangan sampai pendirian kita hanya menguntungkan satu pihak saja dan menyakiti hati manusia lainnya. []