Mubadalah.id – Asas perkongsian (musyârakah) dalam pernikahan dan asas kebutuhan (hâjah) dalam konsep nafkah, bisa menjadi titik tolak gagasan sharing properti dalam keluarga.
Gagasan ini memang belum banyak ulama fiqh klasik bahas, tetapi bisa kita kenalkan ke masyarakat sebagai ijtihad kontemporer bagi menjawab permasalahan kekinian.
Gagasan ini sudah dilontarkan para cendekiawan muslim Indonesia di bidang hukum perkwaninan, berdasarkan pada praktik-praktik adat yang ada di sejumlah daerah di Indonesia.
Kemudian, gagasan ini muncul sebagai terobosan atas kebuntuan praktik maskawin dan nafkah yang suami berikan. Maka ia tidak boleh serta merta memberikan jaminan ekonomi terhadap kehidupan perempuan dalam perkawinan.
Maskawin hanya berupa simbol dalam banyak praktik pernikahan di Indonesia. Sementara konsep nafkah dalam fiqh pada praktiknya menempatkan perempuan sangat tergantung dan rentan secara ekonomi. Terutama ketika terjadi kematian suami atau terjadi perpisahan akibat perceraian.
Ada dua pandangan di kalangan cendekiawan Indonesia;
Pertama, yang mengatakan bahwa sharing properti keluarga, atau harta bersama, hanya ada jika dinyatakan secara eksplisit oleh suami dan istri dalam perjanjian yang secara khusus dibuat untuk itu. Baik dibuat sebelum pernikahan, ketika akad nikah, atau ketika sudah dalam perkawinan.
Pandangan ini misalnya mendapat dukungan dari Amir Syarifuddin. Alasan utama dari pandangan ini adalah independensi setiap masing-masing suami dan istri mengenai harta yang mereka miliki.
Kesepakatan
Kedua, yang menyatakan bahwa kesepakatan mengenai harta bersama terjadi secara otomatis dengan adanya akad pernikahan.
Seseorang yang sepakat untuk menikah, maka baik anak yang ia lahirkan maupun harta yang ia hasilkan dalam pernikahan ini, secara otomatis menjadi milik mereka berdua, bukan hanya salah satu saja.
Suami yang bekerja dan istri yang di rumah, atau sebaliknya, atau kedua-duanya bekerja. Maka semua yang mereka hasilkan dalam ikatan pernikahan adalah menjadi harta bersama. Pandangan ini dinyatakan di antaranya oleh Sajuti Talib, Hazairin, dan Idris Ramulyo.
Oleh karena itu, maka harta bersama adalah harta yang mereka hasilkan dari usaha masing-masing suami istri. Atau salah satu dari mereka, ketika dalam ikatan perkawinan. Namun, harta yang keduanya miliki sebelum pernikahan, tetap menjadi milik masing-masing dan tidak menjadi harta bersama hanya karena ikatan pernikahan. []