Mubadalah.id – Sejak beberapa tahun terakhir banyak tulisan dan pembicaraan yang menceritakan mengenai pendidikan, yang kebanyakan dikaitkan dengan perempuan. Tentang betapa pentingnya pendidikan bagi perempuan, serta keunggulan perempuan yang berpendidikan. Hingga tak jarang memberikan kesan bahwa perempuan yang tidak berpendidikan adalah kaum bawah yang sarat penderitaan dan ketertinggalan.
Hal ini saya akui benar adanya. Bahwa memang pendidikan memberikan peran besar kepada perempuan. Namun, yang menjadi renungan saya adalah tidak semua perempuan berkesempatan mengenyam bangku pendidikan.
Dan tidak jarang, tulisan atau pembicaraan mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan lebih menekankan pada pendidikan formal, khususnya perguruan tinggi. Dan tulisan tersebut disandingkan dengan fenomena ibu-ibu sarjana yang disorot lebih unggul daripada ibu-ibu lulusan SD.
Saya yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi selalu merasa bahwa saya belum termasuk orang yang berpendidikan, jika kategori pendidikan tersebut ditujukan kepada mereka yang memiliki titel sarjana.
Karena ada banyak kendala perempuan dalam mengenyam pendidikan. Bukan hanya kurangnya faktor kesadaran betapa pentingnya pendidikan di dalam diri. Tapi ada yang lebih berat dari itu, yaitu ekonomi dan stigmatisasi mengenai pendidikan yang melekat pada diri perempuan.
Banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan bukan karena tidak ingin, tapi mereka dan keluarganya tidak mampu. Ada juga yang sebetulnya mampu, tapi stigma yang melekat dalam masyarakat tentang perempuan tidak harus pintar secara akademik, yang penting bisa mengerjakan pekerjaan domestik. Atau ngapain sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya tetap diam dirumah. Hal-hal seperti ini yang kerap kali menjadi batu sandungan dalam perempuan meraih pendidikan.
Kesimpulan pada tulisan atau pembicaraan mengenai pendidikan bagi perempuan hampir selalu menggambarkan mengenai perbedaan kualitas antara perempuan putus sekolah dengan para sarjana, bahwa perempuan dengan strata pendidikan tinggi lebih mampu dalam segala hal. Mampu dalam keuangan, mampu keluar dari budaya patriarki dan mampu mendidik generasi selanjutnya yang lebih unggul.
Sedangkan mereka yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi cenderung sering menjadi korban KDRT, dan berada pada relasi kuasa suami. Patuh seutuhnya pada perintah suami. Tak jarang para perempuan yang bergantung secara menyeluruh kerap kali harus terjebak pada hubungan yang toxic, menyakitkan dan tidak membahagiakan.
Bahkan kalau dilihat, tidak sedikit para istri yang diselingkuhi atau dikasari oleh suaminya adalah mereka yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan tidak berani bersuara. Sehingga banyak diantara perempuan yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya lebih memilih menikah di usia belia. Karena mereka tidak tahu harus berbuat apa, dan hampir semua pekerjaan memerlukan ijazah pendidikan yang lebih tinggi. Karena itu, mereka lebih memilik menikah daripada hanya menjadi beban keluarga.
Pendidikan tinggi adalah salah satu jalan untuk perempuan menyelamatkan diri. Salah satunya sebagai pencegah dari menikah pada usia terlalu muda. Dengan pendidikan, perempuan diharapkan memiliki kesadaran akan dirinya. Sadar, jangan sampai menjadi korban kehidupan. Sadar, bahwa hidup tidak sesederhana hanya lahir, menikah lalu meninggal. Sadar bahwa ada hal yang sebetulnya bisa dilakukan oleh perempuan tanpa harus melalaikan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga.
Pendidikan dan sekolah adalah dua hal yang berbeda, tapi saling berkaitan. Tidak semua orang yang pernah sekolah tinggi menjadi terdidik lalu memiliki pemikiran dan pengetahuan yang luas, walaupun secara formal dia telah menempuh salah satu jalan dalam meraih ilmu melalui pendidikan. Dan tidak semua perempuan putus sekolah memiliki prilaku yang tidak terdidik juga tidak berpengetahuan luas.
Karena di zaman digital seperti sekarang banyak akses dalam menimba ilmu. Banyak kelas-kelas online yang dibuka, seminar online bahkan kuliah online pun ada. Bacaan begitu berhamburan sebagai salah satu sumber pengetahuan. Tidak ada lagi alasan untuk perempuan melemahkan dirinya.
Tidak cukup hanya dengan mengkampanyekan pentingnya pendidikan bagi perempuan dengan jalan berkuliah. Tapi juga harus dibarengi dengan menumbuhkan kesadaran pada setiap perempuan, betapa pentingnya memiliki bekal pendidikan. Seperti dalam hadits yang sudah sering kita dengar bahwa “Man aroda dunya fa’alaihi bil‘ilmi, Man arodal akhiroh fa’alaihi bil‘ilmi, Wa man aroda humaa fa’alaihi bil‘ilmi.”
Yang artinya: Barang siapa ingin memperoleh kebahagiaan hidup di dunia harus dengan ilmu dan barang siapa ingin memperoleh kebahagiaan akhirat harus dengan ilmu dan barang siapa ingin memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat harus dengan ilmu.
Kuncinya adalah Ilmu, perempuan butuh ilmu untuk memperoleh kebahagiaannya. Salah satunya adalah ilmu dalam berrelasi dengan pasangan. Saling bahagia dan membahagiakan. Ilmu parenting dalam mendidik anak-anaknya. Ilmu supaya perempuan bisa mandiri, jika ada hal-hal yang tidak di inginkan menimpa dirinya, seperti diselingkuhi, diceraikan atau bahkan berpisah karena meninggal.
Kesadaran betapa perempuan membutuhkan ilmu sebanyak-banyaknyalah yang ingin diwujudkan dari jalan menempuh pendidikan. Ilmu tidak akan berat dibawa, juga tidak menyakitkan jika dimiliki. Selama ilmu yang di dalaminya adalah hal yang baik. Maka dengan ilmu, hidup perempuan diharapkan akan lebih mudah. Setiap perempuan berhak untuk tidak menjadi korban dalam relasi kuasa dan hubungan yang toxic, kapanpun dan oleh siapapun. []